
Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar. | Foto: Cyberthreat.id/Faisal Hafis
Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar. | Foto: Cyberthreat.id/Faisal Hafis
Cyberthreat.id - Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mendorong perlunya dirumuskan pengaturan terkait tanggung jawab platform media sosial sebelum mengatur tindakan pemblokiran terhadap platformnya.
Hal ini diungkapkan Wahyudi saat dimintai tanggapannya terkait rencana Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang berencana menyiapkan Peraturan Menteri untuk atur media sosial dalam bentuk penegasan sanksi hingga pemblokiran terhadap platform media sosial. (LIhat: Kominfo Siapkan Peraturan Menteri untuk Atur Sanksi bagi Media Sosial)
Menurut Wahyudi, di Indonesia belum jelas pengaturan tanggung jawab platform media sosial itu sampai pada level mana. Batasan platform itu juga belum ada. Seharusnya, kata Wahyudi, pemerintah terlebih dahulu mendefinisikan apa itu platfor medi sosial, seperti apa model bisnisnya, dan apa saja yang menjadi batasan tanggung jawabnya.
Selain itu, yang perlu didorong lagi menurutnya adalah tanggungjawab platformnya, di mana platform mengembangkan peraturan internal yang merupakan turunan perintah dari Undang-undang di Indonesia.
Wahyudi mencontohkan yang berlaku di Jerman. Di sana, pemerintahnya meminta platform media sosial bergabung dalam sebuah asosiasi, lalu diwajibkan menyusun peraturan internal di level asosiasi.
"Jadi perusahaan-perusahaan layanan media sosial yang penggunanya lebih dari dua juta di Jerman itu diminta untuk bergabung dalam asosiasi, dan asosiasi itu membuat peraturan yang berlaku bagi seluruh anggota asosiasi, yang salah satunya mengatur tentang rujukan jenis konten yang bisa dilakukan pemblokiran, lalu yang kedua prosedur dalam melakukan pemblokiran,“ ujarnya kepada Cyberthreat.id, Selasa (27 Oktober 2020).
Kemudian, kata Wahyudi, platform didorong untuk mengembangkan algoritma yang bisa membantu memberantas disinformasi. Ada beberapa platform yang berupaya dalam menangani disinformasi, kata Wahyudi, dengan mengembangkan namanya Coordinated Inauthentic Behavior (CIB) atau prilaku tidak otentik tetapi terkoordinasi -- yang bisa mengidentifikasi prilaku di luar kebiasaan.
Menurut Wahyudi, sejauh ini belum ada definisi hukum yang menjelaskan apa itu disinformasi, hoaks, atau kabar bohong.
"Tidak ada definisinya. Itu problematis. Karena kalau kita mengacu kepada KUHP pada UU ITE, tidak ada tuh definisi atau batasan tentang hoaks dan disinformasi," ujarnya.
Setelah mengatur pertanggungjawaban media sosial, barulah kemudian, kata Wahyudi, mengatur terkait opsi terakhir yakni pemblokiran terhadap platformnya dilakukan.
“Itu kan bagian dari tanggung jawab platform sebenarnya. Ini perlu diatur dulu sebenarnya sebelum kemudian bicara soal bagaimana memblokir dan seterusnya, blokir itu tindakan terakhir sebetulnya,” kata Wahyudi.
Untuk itu, Wahyudi mengatakan, kalau pun pemerintah bersikukuh mengeluarkan peraturan menteri, maka di dalamya harus menjelaskan secara detail konten seperti apa yang melanggar hukum, lengkap dengan acuan undang-undang mana yang dilanggar. Degan begitu, jika ada pengguna yang merasa kontennya tidak melanggar hukum, dapat mengajukan banding untuk menguji keputusan itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
"Kalau di Jerman itu jelas. Ketentuan-ketentuan yang bertentangan atau tindakan atau konten yang bertentangan dengan atau dilarang mengacu pada KUHP federal Jerman, jelas gitu. Di Indonesia ini masih debatable. Siapa yang berhak memutuskan ini benar itu salah," ujarnya.
"Misalnya, pasal 40 ayat 2 UU ITE hanya mengatakan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Itu kan sangat luas. Pertanyaannya, peraturan undang-undang mana yang dilanggar. Itu harus jelas," kata Wahyudi.
Begitu juga dengan opsi pemblokiran. Ketika akan memblokir platformnya, kata Wahyudi, pemerintah harus mengeluarkan keputusannya yang disertai alasan yang jelas dan detail terkait mengapa itu diblokir.
"Misalnya belajar dari kasus Vimeo, banyak orang berbisnis melalui Vimeo. Atau misalnya sekarang semua orang menggunakan Zoom, kalau misalnya gara-gara ada satu konten yang salah di Zoom kemudian Zoom diblokir, itu kan persoalan," ujarnya.
Selain itu, Wahyudi menilai pemerintah juga dapat menyiapkan action plan yang demokrattis dalam konteks penanganan disinformasi. Misalnya, melakukan literasi digital dengan memasukkannya dalam kurikulum sekolah.
Menurut Wahyudi, untuk mengatur sosial media, akan lebih kuat jika aturannya diatur di level undang-undang.
"Apakah itu kemudian mengubah UU ITE atau yang kedua mengubah UU Telekomunikasi gitu. Dua hal pilihannya, karena memang kecenderungannya dalam hak asasi manusia terutama ya, praktek atau tindakan pembatasan terhadap konten secara umum itu sebaiknya dilakukan oleh entitas independen," ujarnya.[]
Editor: Yuswardi A.Suud
Share: