
Kasubdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Adis Alifiawan
Kasubdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Adis Alifiawan
Cyberthreat.id - Kasubdit Penataan Alokasi Spektrum Dinas Tetap dan Bergerak Darat pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Adis Alifiawan mengatakan setidaknya ada dua hal krusial terkait indikator siap tidaknya Indonesia menerima jaringan 5G.
Berbicara di webinar 'TokTok Kominfo: 5G di Indonesia? Siapkah?,' pada Jumat (28 Agustus 2020), Adis mengatakan dua indikator itu adalah frekuensi dan regulasi.
Dari sisi frekuensi, kata Adis, karena 5G ini adalah teknologi yang berbasis frekuensi, sehingga memilih frekuensinya tidak bisa suka-suka, melainkan harus mengikuti aturan global.
“Kenapa? karena kita bicara economy of scale, kita bicara agar handset 5G yang masuk ke Indonesia itu bisa dalam konteks yang affordable, terjangkau, jangan sampai kita kasih frekuensi 5G kita announce kemana-mana 5G tapi orang tuh susah dapat handphone 5G, tapi harganya mahal, kemudian itu juga impact-nya harga retail ke masyarakat tarifnya jadi mahal juga,” ujar Adis.
Menurut Adis, saat ini frekuensi untuk 5G di Indonesia sedang diuji di lapangan. Adis bilang, 3 jenis frekuensi yang banyak digunakan untuk handset adalah 3,5 GHz, 2,6 GHz, dan 4 GHz.
Dari ketiganya, yang paling bagus adalah 3,5 GHz. Namun, frekuensi ini justru menimbulkan dilema buat Indonesia.
“3,5 GHz itu sudah dari dulu adalah pita jangkarnya satelit Indonesia, karena redaman frekuensinya terhadap curah hujan paling bagus. Indonesia sebagai negara tropis sangat ketergantungan pada pita 3,5 GHz ini, dan negara yang juga kepulauan, artinya satelit itu tidak bisa dinafikan. Ini yang sekarang lagi dikerjakan Kominfo. Sekitar satu bulan ini setiap minggu kita rapat untuk nyiapin uji coba untuk di tingkat 3,5 GHz karena kita butuh kepastian empiris dari hasil uji coba bagaimana untuk memungkinkannya 5G bisa muncul di 3,5 GHz, tetapi pada saat bersamaan tidak ganggu layanan satelit," ujarnya.
“Layanan satelit di 3,5 GHz ini krusial buat perbankan, Ini dipakai buat ATM. Jangan sampai ada 5G orang uang setengah jalan uangnya tidak keluar, tapi rekeningnya sudah habis. Ini jangan sampai terjadi, nah tugas kami di Kominfo mengatur agar ini tidak terjadi. Jangan sampai masuk yang muda, yang tua malah ngambek gitu," katanya.
Faktor kedua adalah soal regulasi. Menurut Adis, regulasi telekomunikasi Indonesia yang usianya sudah 21 tahun harus diperbaharui sesuai perkembangan zaman. Untuk itu, Adis mengatakan pihaknya memasukkannya di Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Kita perlu update itu, karena 5G ini butuh triple sharing. Ini kayak burger. Yang paling bawah itu infrasharing. Kedua network sharing, itu jadi dagingnya. Sedangkan yang paling atas itu ada spektrum sharing, Tiga ini lagi kita dorong ke DPR. Jadi kita juga butuh dukungan untuk bersama-sama meyakinkan parlemen dan juga stakeholder bahwa kita mau masuk ke area 5G. Regulasinya harus diupdate. Angkot aja ada peremajaan masa regulasi enggak dilakukan peremajaan,” ujarnya.
Menurut Adis, pilot project 5G ini kemujngkinan akan dijalankan di ibukota negara baru yakni di Kalimantan. []
Editor: Yuswardii A. Suud
Share: