
Kantor Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan AS akan menerapkan pengawasan terhadap para pencari visa. | Foto: aldianews.com
Kantor Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan AS akan menerapkan pengawasan terhadap para pencari visa. | Foto: aldianews.com
Washington, Cyberthreat.id – Kantor Layanan Imigrasi dan Kewarganegaraan (USCIS) Amerika Serikat kini memperbolehkan pegawainya membuat akun media fiktif. Alasannya, akun tersebut untuk memantau informasi di media sosial terkait dengan orang asing yang mencari visa, kartu hijau, dan kewarganegaraan.
Pernyataan Kantor Imigrasi tersebut menjelaskan akun dan identitas palsu akan memudahkan penyelidik untuk mencari bukti potensial kecurangan atau masalah keamanan. Hal itu juga sebagai dasar ketika mereka memutuskan apakah akan mengizinkan seseorang masuk ke AS atau tidak, demikian seperti dikutip dari AP, yang diakses Senin (2 September 2019).
Sebelum ada kebijakan itu, Departemen Luar Negeri AS memang mewajibkan para pemohon visa AS untuk mencantumkan akun media sosialnya mulai Juni lalu. Kebijakan ini mulai ketat sejak era pemerintahan Presiden Donald Trump sebagai cara menyaring calon pengunjung dan imigran.
Menyangkut medsos tersebut, AP menjelaskan, tidak jelas persis bagaimana pembuatan akun medsos palsu itu akan difungsikan. Apalagi kebijakan platform seperti Facebook dan Twitter, keduanya secara khusus menyatakan bahwa peniruan atau berpura-pura menjadi orang lain selain diri Anda sendiri melanggar ketentuan platform.
Twitter dan Facebook baru-baru ini juga menutup banyak akun dengan identitas palsu untuk sebuah operasi intelijen yang disokong negara—diduga dari China.
“Adalah melanggar kebijakan kami untuk menggunakan kepribadian palsu dan menggunakan data Twitter untuk pengawasan individu secara terus-menerus,” demikian disampaikan Twitter kepada AP.
“Kami berharap dapat memahami praktik yang diusulkan USCIS untuk menentukan apakah praktik tersebut konsisten dengan persyaratan layanan kami”.
Facebook belum memberikan komentar terkait kebijakan itu.
Petugas khusus
Pengawasan medsos akan dilakukan oleh petugas khusus di Badan Deteksi Penipuan dan Direktorat Keamanan Nasiona. Penilaian privasi tersebut hanya membolehkan petugas meninjau medsos yang tersedia untuk umum, yang tersedia untuk semua pengguna di platform.
“Mereka tidak dapat "berteman" atau "mengikuti" seseorang - dan harus menjalani pelatihan tahunan. Para petugas juga tidak diizinkan untuk berinteraksi dengan pengguna di medsos dan hanya secara pasif meninjau informasi, demikian menurut dokumen Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS).
Dave Maass, peneliti senior investigasi untuk kelompok advokasi kebebasan sipil Electronic Frontier Foundation, mengkritik cara-cara pengawasan yang dilakukan pemerintah AS.
Penggunaan akun palsu seperti itu, “Melemahkan kepercayaan kami pada perusahaan medsos...," ujar dia.
"Ini tidak bisa menjadi standar ganda, di mana polisi bisa melakukannya, tetapi anggota masyarakat umum tidak bisa."
Mike German, seorang pensiunan agen FBI dan aktif di Program Kebebasan dan Keamanan Nasional Brennan Centre, mengatakan, pentingnya ada pedoman kuat dalam penerapkan kebijakan pembuatan akun palsu tersebut.
Selain itu, German juga meminta agar anggota parlemen untuk mengontrol dan memastikan tidak ada pelanggaran privasi.
"Sangat mudah itu bisa disalahgunakan," kata German. "Seharusnya hal itu hanya digunakan dalam kasus yang benar-benar diperlukan."
Pemeriksaan terhadap akun medsos awalnya dilatarbelakangi oleh serangan penembakan yang dilakukan oleh Syed Rizwan Farook di San Bernardino pada 2015, yang mengakibatkan 14 orang tewas.
Di sisi lain, istrinya, Tashfeen Malik, memperoleh izin masuk ke AS dengan visa tunangan–sebuah proses yang tidak melibatkan pemeriksaan medsos.
Sehari setelah serangan itu, Facebook menemukan sebuah unggahan di halaman yang dikelola oleh Malik yang isinya setia kepada Farook dan pemimpin kelompok Negara Islam. Namun, halaman Facebook itu dikelola dengan nama alias. Pihak berwenang mengatakan Malik dan Farook bertukar pesan tentang jihad dan mati syahid secara online sebelum mereka menikah dan ketika dia tinggal di Pakistan. Keduanya akhirnya tewas dalam kontak senjata dengan polisi.
Share: