IND | ENG
Aktivis Diteror di Dunia Siber, Peneliti Sebut RUU PDP Mendesak Disahkan

Ilustrasi | Foto: adhrb.org

Aktivis Diteror di Dunia Siber, Peneliti Sebut RUU PDP Mendesak Disahkan
Andi Nugroho Diposting : Senin, 22 November 2021 - 11:11 WIB

Cyberthreat.id – Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Luky Sandra Amalia mengatakan banyak aktivis Indonesia yang melakukan aksi siber (cyber activism) menerima teror di dunia maya.

Ia pun mendorong agar Rancangan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (RUU PDP) segera disahkan guna melindungi aktivitas para aktivis siber.

“Para aktivis siber belum punya perlindungan dari negara, makanya para aktivis itu gampang diteror karena undang-undang PDP belum ada,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Polemik Freedom of Speech Sebagai Penerapan Cyber Democracy di Indonesia", dikutip dari Antaranews.com, Minggu (21 November 2021).

Selama ini, kata dia, teror yang diterima para aktivis siber seperti ujaran kebencian, peretasan aplikasi WhatsApp, hingga menerima telepon dari seseorang yang menggunakan nomor luar negeri.

Cyber activism ialah gerakan untuk membangkitkan atau memobilisasi masyarakat melalui aktivitas di dunia siber. Gerakan ini menciptakan ruang publik yang bebas bagi semua orang untuk berbicara tanpa hambatan atau sensor.

“Mudah-mudahan, karena ini sangat mendesak, Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi segera disahkan untuk melindungi kita semua yang ingin menyelamatkan demokrasi Indonesia,” kata Luky.

Persoalan aktivis siber ini beberapa kali mendapat sorotan. Pasal karet UU ITE seringkali dipakai aparat untuk menjerat aktivis yang vokal mengkritik pemerintah. Terkahir, kasus aktivis Ravio Patra yang terjadi pada tahun lalu. Hingga kini, aparat tidak pernah membeberkan kembali bagaimana kelanjutan kasus peretasan terhadap WhatsApp Ravio. (Baca: Menyangkut Peretasan Akun WhatsApp, Ravio: Saya Bukan Agen Mata-mata Asing)

Demokrasi siber

Sementara, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan bahwa demokrasi siber membutuhkan peran negara sebagai regulator untuk mencegah kebebasan yang anarkis.

“Tanpa regulator yang baik, ruang siber justru akan menjadi ajal bagi demokrasi,” kata Khairul Fahmi.

Berdasarkan pengamatan Khairul pada berbagai tahapan Pemilu 2019, dunia maya atau ruang siber telah menjadi arena politik kebencian dan polarisasi bagi masing-masing pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Ruang siber yang penuh akan konten-konten bernuansa negatif dan polarisasi diakibatkan oleh orang-orang yang merasa bebas dalam mengatakan apa pun, termasuk ujaran kebencian, di balik anonimitas.

“Seolah-olah ruang digital ini menjadi arena anarki. Anonimitas itu, ya, bisa membuat kebebasan berpendapat menjadi tidak bertanggungjawab,” ucap dia.

Padahal, menurut Khairul, seseorang dapat menggunakan ruang siber untuk menjadi wadah berpendapat dan beropini secara bertanggung jawab dan tidak dibatasi oleh waktu. Selain itu, ruang siber juga memiliki potensi untuk membantu masyarakat dalam menemukan orientasi politik mereka, membangun opini, juga mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan politik.

“Kalau menggunakan ini sebagai sarana menemukan orientasi politiknya, ya oke, karena menggunakan kebebasan secara bertanggung jawab,” ujarnya.

Oleh karena itu, Khairul menekankan pentingnya pemerintah menjalankan peran sebagai regulator yang baik guna mencegah ruang digital menjadi arena anarki. Adapun ciri-ciri dari regulator yang baik adalah mampu memfasilitasi ruang-ruang kebebasan berpendapat, mampu memberikan definisi yang jelas atas apa yang disebut sebagai kebaikan bersama, serta mengetahui batasan intervensi yang dilakukan.[]

#aktivissiber   #cyberactivism   #ruupdp   #brin

Share:




BACA JUGA
Tim AI dan Keamanan Siber BRIN Ciptakan Aplikasi Pengenal Wicara untuk Medis
BSSN Luncurkan Tim Tanggap Insiden Siber BRIN-CSIRT
ELSAM: UU PDP Berpotensi Lemah Dalam Penegakannya
UU Data Pribadi Disahkan, Apa yang Baru?
RUU PDP Akan Disahkan Pekan Depan