
Foto: punchng.com
Foto: punchng.com
Cyberthreat.id – Setelah Taliban merebut Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul pada 15 Agustus 2021, tantangan baru dihadapi perusahaan teknologi besar AS untuk menangani segala konten yang dibuat oleh kelompok tersebut.
Facebook, raksasa media sosial, pada Senin (16 Agustus) mengatakan akan terus melarang Taliban dan segala konten yang mendukung mereka di platformnya.
Selama bertahun-tahun, Facebook telah melarang Taliban dengan menyebut kelompok tersebut sebagai organisasi teroris dan berbahaya. Larangan tersebut juga berlaku untuk platform grup, seperti Instagram dan WhatsApp.
Menurut Reuters, diakses Rabu (18 Agustus), anggota Taliban dikabarkan masih memakai layanan pesan enkripsi end-to-end Facebook, WhatsApp, untuk berkomunikasi di negara itu.
Dalam sebuah pesan yang disebarkan via WhatsApp dan diterima sebagian warga Kabul, Taliban mengatakan “bertanggung jawab atas keamanan kabul”. Pesan itu juga mencantumkan nomor telepon pelaporan jika warga melihat perilaku tidak bertanggung jawab seperti penjarahan, menurut Washington Post yang melihat pesan tersebut, dikutip dari Fox Business.
"'Kepemimpinan Islam' meyakinkan Anda bahwa tidak ada yang harus panik karena merasa takut," bunyi salah satu pesan WhatsApp tersebut. "Taliban mengambil alih kota tanpa pertempuran dan tidak ada yang akan mengambil risiko."
Juru bicara Facebook mengatakan tengah memantau situasi di Afghanistan dan akan mengambil tindakan terhadap setiap akun WhatsApp yang terkait dengan organisasi tersebut, salah satunya dengan penghapusan akun.
Juru bicara itu menambahkan bahwa Facebook memiliki tim khusus ahli Afghanistan, yang merupakan penutur asli Dari dan Pashto dan memiliki pengetahuan tentang konteks lokal, sehingga membantu mengidentifikasi tentang masalah yang muncul di platform.
"Tim kami dengan cermat memantau perkembangan situasinya. Facebook tidak membuat keputusan tentang pemerintah yang diakui di negara tertentu, tetapi menghormati otoritas komunitas internasional dalam membuat keputusan ini. Terlepas dari siapa yang memegang kekuasaan, kami akan mengambil tindakan terhadap akun dan konten yang melanggar aturan kami," kata juru bicara tersebut.
Selain memakai platform grup Facebook, Taliban juga memakai Twitter, jejaring sosial microblogging untuk menjangkau pengikut dan menyampaikan informasi ke dunia lain. Di Twitter, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, yang memiliki ratusan ribu pengikut telah bercuit selama pengambilalihan negara itu.
Dia baru-baru ini men-tweet pembaruan tentang "unit militer" yang memasuki Kabul. Dia menulis bahwa "kemajuan mereka berlanjut secara normal."
"Situasi di Afghanistan berkembang pesat. Kami juga menyaksikan orang-orang di negara itu menggunakan Twitter untuk mencari bantuan dan bantuan. Prioritas utama Twitter adalah menjaga orang tetap aman, dan kami tetap waspada," kata juru bicara Twitter dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Fox Business.
"Kami akan terus secara proaktif menegakkan aturan kami dan meninjau konten yang mungkin melanggar Aturan Twitter, khususnya kebijakan terhadap pemuliaan kekerasan, manipulasi platform, dan spam."
Twitter yang ditanya terkait penggunaan platformnya oleh kelompok itu tidak mengatakan secara jelas, hanya mengatakan, kebijakan perusahaannya sangat jelas terhadap kelompok kekerasan dan pendukung perilaku kebencian.
Dalam kebijakannya, Twitter memang menyebutkan tidak membolehkan sebuah kelompok yang mempromosikan terorisme atau kekerasan terhadap warga sipil. Namun, respons Twitter ini sangat berbeda ketika Presiden AS Donald Trump yang mendukung pengikutnya menyerbut Gedung Parlemen AS pada Januari lalu. Twitter saat itu langsung menghapus cuitan Trump yang akhirnya juga menutup aksesTrump ke platformnya. (Baca: Malangnya Donald Trump, Ramai-ramai Platform Medsos Menolaknya)
Taliban telah mengeluarkan pernyataan yang mengatakan mereka menginginkan hubungan internasional yang damai dan berjanji untuk melindungi warga Afghanistan.
Sementara, menurut peneliti keamanan di Asia Selatan juga dan kandidat doktor di Universitas Edinburgh, Mohammed Sinan Siyech, Taliban agaknya menjadi pemain yang bakal diterima di tingkat hubungan internasional merujuk pada pembicaraan yang telah diadakan antara China dan Amerika Serikat dengan kelompok itu.
"Jika pengakuan (terhadap kelompok) itu tiba, bagi perusahaan seperti Twitter atau Facebook untuk membuat keputusan subjektif (dengan menyebut) kelompok tersebut jahat dan tidak akan menampung mereka, ini akan menimbulkan masalah sendiri," ujar Siyech.[]
Share: