
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Seharusnya ada badan independen yang menentukan pemblokiran atau pemutusan akses terhadap sebuah konten terlarang di platform online. Dengan begitu, keputusan tidak lagi dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar dalam perbincangan dengan Cyberthreat.id terkait tata kelola dan moderasi konten di platform online, Rabu (5 Mei 2021).
Pernyataan tersebut sekaligus megomentari tentang mekanisme tata kelola dan konten yang dilakukan oleh Kemenkominfo. Terkait dengan pemblokiran konten terlarang di platform online, Kemenkominfo menyatakan tak bisa langsung menindak platform.
Mereka harus meminta platform tersebut untuk menurunkan konten yang dimaksud. Kecuali, konten tersebut dipublikasikan di sebuah situs web, Kemenkominfo bisa langsung meminta penyedia layanan internet (ISP) untuk memblokirnya.
Mekanisme permintaan ke platform online juga membutuhkan waktu, tidak bisa segera. Hanya, sesuai regulasi, jika konten tersebut termasuk kategori mendesak diberi waktu 1x4 jam. Lihat grafis di bawah ini.
Langkah yang diambil Kominfo tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Kominfo (Permenkominfo) nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.
Tata kelola dan moderasi konten di platform digital atau penyelenggara sistem elektronik (PSE).
Ketentuan moderasi terkait dengan platform user generated content (UGC).
Alur perintah pemutusan akses terhadap konten terlarang dan sanksi yang diberikan kepada PSE yang tak menindaklanjuti perintah penurunan konten terlarang.
Menurut Wahyudi, sejumlah negara telah mengadopsi badan independen yang mengurusi tata kelola dan moderasi konten internet, salah satunya, Australia melalui Communication Multimedia Authority-nya.
Indonesia, kata dia, sebenarnya bisa melakukan hal serupa dengan penguatan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
"Dulu rekomendasi kami memperkuat fungsi dari BRTI, tapi sudah dibubarkan sehingga sekarang agak sulit memulai kembali pembicaraannya," ujar Wahyudi.
Penguatan BRTI
Menurut dia, BRTI bisa diperkuat dengan menambahkan wewenang menjalankan fungsi untuk mengawasi tata kelola internet. Caranya dengan merevisi Undang-Undang Telekomunikasi dan diatur kembali melalui peraturan presiden.
Wahyudi mengatakan, keberadaan badan tersebut penting untuk menghasilkan putusan yang independen. Sebab, seringkali pemerintah dalam memoderasi konten internet mengambil keputusan karena pertimbangan politis.
"Praktiknya di Indonesia belakangan itu tidak hanya bicara dimensi sosial terkait pornografi, tetapi sudah termasuk isu-isu yang terkait politik juga," tuturnya.
Terlebih, menurut Wahyudi, acuan pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh Kemenkominfo saat ini tidak begitu jelas. "Kita enggak pernah tahu bagaimana proses pengambilan keputusan sampai suatu konten itu dinyatakan disebut ilegal, kemudian di-takedown," ujarnya.
Jika terdapat badan yang mengurusi tata kelola dan moderasi kontan, maka badan itulah yang akan memberi notifikasi bahwa konten tertentu dinilai melanggar atau terlarang. Selanjutnya, badan tersebut memberi keputusan untuk memblokir.
Keputusan yang dikeluarkan oleh badan itu dapat bermanfaat bagi masyarakat yang ingin menguji keputusan tersebut. Misalnya, membawa keputusan itu ke pengadilan. “Ini menghindari tindakan overblocking," ujarnya.
Overblocking yang dimaksud Wahyudi dalam artian penyensoran atau moderasi tidak tepat. Meski Wahyudi pesimis pemerintah mau menerapkan mekanisme kontrol melalui badan independen tersebut, setidaknya upaya mekanisme itu perlu dihadirkan atau disediakan.
Self regulatory
Selain itu, Wahyudi mengatakan, sejauh ini praktik penyensoran berfokus di media sosial, marketplace, dan platform User-Generated-Content (UGC)—setiap orang tanpa dikurasi dapat mengunggah konten.
Padahal ada jenis platform yang juga menyediakan konten, tetapi dengan kurasi, atau disebut sebagai Online Curated Content (OCC), seperti Netflix, Iflix, dan sejenisnya. Karena itu, menurut dia, perlu juga membuat aturannya agar adil bagi seluruh platform.
Pertimbangan lain, Wahyudi mengatakan, platform perlu diatur untuk mengembangkan model self regulatory di tingkat platform atau tingkat asosiasi. Dengan regulasi sendiri, platform bisa melakukan pengujian ketika ada permintaan terhadap moderasi suatu konten, misalnya, laporan dari pengguna.
Wahyudi menjelaskan di Jerman mengadopsi hal tersebut, di mana basisnya pengaduan dari masyarakat kepada platform untuk melakukan takedow; bukan seperti di Indonesia, yaitu masyarakat melaporkan melalui Kominfo, lalu Kominfo ke platform atau ISP.
Wahyudi pun bercerita sebenarnya aturan moderasi konten internet ini tepatnya diatur di level UU bukan peraturan menteri agar lebih detail penjelasan mengenai jenis-jenis konten apa yang dilarang.
Pasalnya, praktiknya sekarang, konten yang dilarang kian bertambah di luar yang diatur pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 27 hingga Pasal 29). Hal ini sebenarnya bisa dibawa dalam revisi UU ITE jika memang jadi pemerintah serius melakukan revisi. (Baca: Tim Kajian UU ITE Ajukan Revisi Pasal 27 Ayat 1, Ini Alasannya)
Di Jerman, kata Wahyudi, moderasi konten internet itu diatur level UU (Network Enforcement Act) dan disebutkan dengan jelas jenis-jenis konten yang dilarang dan dapat dilakukan pembatasan.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: