
Ilustrasi via Shutterstock
Ilustrasi via Shutterstock
Cyberthreat.id - Pembiayaan berbasis teknologi (fintech) diprediksi akan terus berkembang. Namun, regulasi yang ada dinilai belum memadai dan belum sepenuhnya berpihak pada perlindungan konsumen.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah Redjalam, memprediksi hingga beberapa tahun ke depan pemain fintech akan terus bertambah karena penggunaan fintech telah menjadi tren dan teknologi semakin berkembang. Namun, perkembangan ini memiliki dua tantangan utama, yaitu regulasi dan perlindungan konsumen.
"Tantangan ke depan banyak sekali, mulai dari persoalan regulasi, persaingan, SDM, sampai dengan perlindungan konsumen. Regulasi dan perlindungan konsumen ini yang harus menjadi fokus regulator dan penyelenggara fintech," ungkap Piter kepada Cyberthreat.id, Selasa (26 Desember 2020).
Menurut Piter, regulasi ini sangat penting guna mendukung optimalisasi perkembangan fintech serta pemanfaatan fintech yang efektif. Regulasi ini harus bisa mengatur soal persaingan, permodalan, infrakstutur (teknologi fintech), keamanan, dan perlindungan konsumen.
Selain regulasi, kata Pieter, hal lain yang menjadi tantangan bagi fintech adalah, bagaimana penyelenggara fintech dapat memperkuat perlindungan terhadap konsumennya. Salah satunya adalah perlindungan konsumen dari kemungkinan ancaman serangan siber.
Piter mengatakan, semakin berkembangnya teknologi yang digunakan, ancaman siber juga mengikuti tren dan perkembangan teknologi.
"Istilahnya begini, semakin canggih alat atau teknologi yang kita gunakan, ya kejahatannya juga semakin canggih," ujarnya.
Untuk itu, menurut Pieter, pihak regulator dan penyelenggara fintech harus melakukan langkah-langkah keamanan dengan menerapkan cybersecurity dan langkah mitigasi jika terjadi insiden siber karena menyangkut perlindungan konsumen. Regulator dan penyelenggara fintech wajib melindungi konsumen dari kejahatan siber dan penyalahgunaan teknologi informasi.
Piter menilai, pengawasan dan pengaturan fintech yang dilakukan oleh OJK sudah cukup baik namun perlu ditingkatkan. Seperti misalnya dalam hal pemblokiran fintech ilegal, ia menilai OJK melalui SWI sudah memberlakukannya dengan memblokir ratusan fintech ilegal setiap bulannya.
"Dalam pemblokiran ini tidak semuanya hanya dilakukan SWI saja, tetapi kan bekerjasama dengan lembaga kementerian lain, misalnya kominfo, kepolisian, dan lainnya. Mungkin hanya perlu dipertegas lagi pengawasan dan pengaturannya, tapi sejauh ini sudah cukup bagus," ujarnya.
Ketika disinggung soal masih banyaknya fintech ilegal di Indonesia, Piter mengatakan jika itu bukan hanya salah OJK semata. Menurutnya, kehadiran fintech ilegal di Indonesia terjadi karena adanya kebutuhan di masyarakat. Selain itu, dengan adanya teknologi yang semakin canggih sangat mudah bagi pelaku fintech ilegal untuk membuat aplikasi dengan nama baru, ketika aplikasinya diblokir oleh pemerintah.
"Fintech ilegal ini terus ada karena peminatnya di indonesia juga terus ada. Banyak masyarakat yang kurang memahami perbedaan antara fintech legal dan fintech ilegal, yang terpenting mereka bisa meminjam uang secara cepat dan mudah," tambah Pieter.
Sebagai jalan keluarnya, kata Pieter, yang bisa dilakukan regulator dan penyelenggara fintechadalah dengan memberikan literasi terkait dengan sistem keuangan dan fintech agar masyarakat hanya menggunakan fintech yang berizin atau terdaftar di OJK. Untuk mewujudkan masyarakat yang melek fintech, semua pihak harus bekerjasama mulai dari lembaga pemerintah, komunitas, asosiasi fintech, hingga kelompok masyarakat itu sendiri juga turut serta dalam literasi ini.
"Jadi ini juga kembali lagi ke masyarakat, kalau masyarakat tahu yang mana fintech ilegal dan tidak digunakan, maka fintech ilegal lama kelamaan akan hilang," kata Pieter.
Sebelumnya, Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal Edy Halim menilai, pengaturan terhadap perusahaan fintech yang dilakukan oleh reegulator belum memberikan kepastian hukum bagi konsumen. Baik itu melalui peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut Rizal, berbagai pengaduan yang masuk, menunjukkan masih banyak pelanggaran terhadap nasabah. Antara lain berupa pencurian data pribadi, penetapan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi sampai dengan cara penagihan yang intimidatif.
Untuk itu, pihaknya telah berupaya untuk menjalin komunikasi dengan OJK, namun belum ada respon yang cukup membantu bagi konsumen. Menurutnya, OJK hanya mengawasi perusahaan fintech yang telah terdaftar dan memiliki izin usaha. Sementara selebihnya, bukan menjadi wilayah pengawasan OJK.[]
Editor: Yuswardi A.Suud
Share: