
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id - Enam orang pemuka agama menginisiasi sebuah petisi online di platform Change.org yang meminta dibatalkannya Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi yang demokratis. Dibuat pada 5 Oktober 2020, hingga Selasa siang (6 Oktober 2020) petisi itu telah diteken oleh lebih dari 900 ribu orang.
Berjudul "Maklumat Pemuka Agama Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik" petisi itu mencantumkan nama enam orang inisiator yaitu Busyro Muqoddas (mantan Wakil Ketua KPK), Pendeta Merry Koliman, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana (tokoh penghayat kepercayaan), Roy Murtadho (tokoh pesantren) dan Pendeta Penrad Sagian.
"Seperti yang sudah diketahui, RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup," tulis petisi itu.
Seperti diketahui, setelah DPR RI mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna pada Senin kemarin, serikat buruh melakukan aksi mogok nasional mulai hari ini hingga 8 Oktober mendatang. Mereka menyatakan menolak pengesahan RUU tersebut karena dinilai tidak berpihak kepada pekerja dan hanya menguntungkan pengusaha. Di sisi lain, kelompok masyarakat sipil dan mahasiswa menyatakan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintahan Jokowi.
Dalam petisi itu, para penggagas menyebut 5 poin yang menjadi keberatan mereka, termasuk adanya spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan.
"Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara," tulis petisi itu.
Selain itu, menurut mereka, RUU Cipta Kerja yang telah disetujui DPR RI untuk diundangkan itu memuat pemangkasan hak-hak buruh/pekerja.
"Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan. Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu."
Pada poin berikutnya disebutkan aturan itu berpotensi melahirkan konflik agraria dan sumber daya alam atau lingkungan hidup. Ini menjadi perhatian lantaran selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
"Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan," tambah petisi itu.
Poin berikutnya, penggagas mengatakan UU Cipta Kerja memangkas ruang hidup kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi.
"Aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan. Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya."
Terakhir, aturan baru ini membuat kekuasaan birokrasi terpusat. Padahal, ini berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah yang diterapkan setelah reformasi.
"RUU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin," urai penggagas petisi.
Berdasarkan 5 pertimbangan itu, para penggagas petisi meminta DPR RI membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis.
"Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan," bunyi akhir petisi itu. []
Share: