
Logo WeChat | Foto: Freepik.com
Logo WeChat | Foto: Freepik.com
Cyberthreat.id – WeChat dan TikTok, dua aplikasi China, yang kini sedang menjadi sorotan pemerintah Amerika Serikat.
Presiden AS Donald Trump mengancam akan melarang keduanya jika tak menuruti “aturan main”—padahal tidak begitu jelas apa yang menjadi keluhan terhadap keduanya. Alasan Trump selama ini adalah faktor privasi dan keamanan data pengguna.
Keamanan dan privasi data TikTok, misalnya, dipertanyakan dan perusahaan dianggap memiliki tanggung jawab untuk berbagi intelijen kepada pemerintah China.
Kekhawatiran AS itu didasarkan pada hukum China yang disahkan pada 2017, yaitu setiap perusahaan memiliki “kewajiban untuk mendukung dan bekerja sama dalam pekerjaan intelijen nasional negara”.
TikTok membantah tudingan ini berkali-kali.
TikTok diberi waktu 90 hari untuk negosiasi penjualan bisnisnya di AS dengan Microsoft. Jika tak ada hasil, Trump mengancam aplikasi terlarang di AS.
WeChat juga sebelumnya telah masuk dalam larangan pemerintah AS. Trump telah mengeluarkan perintah agar perusahaan AS dilarang bertransaksi dengan WeChat dan TikTok. Tidak jelas transaksi seperti yang dimaksudkan pemerintahan Trump.
Namun, kondisi tersebut menjadi bayangan buruk bagi kedua platform yang juga telah diblokir di India pada akhir Juni 2020.
Bagi jutaan orang di AS menggunakan WeChat adalah sebuah cara untuk tetap terhubung dengan teman, keluarga, pelanggan, dan kontak bisnis di China. Ini lantaran WhatsApp diblokir oleh pemerintah China.
“Jalur kontak” itu kini diserang Trump.
Untuk orang-orang di AS, WeChat memang tak begitu fungsional. Namun, platform ini yang menghubungkan sesama para imigran dan pelajar dari China. Restoran China di AS menggunakannya untuk menerima pesanan makanan. Pengusaha di AS yang memiliki pekerjaan di China juga mengandalkannya.
Sha Zu, warga China-Amerika yang tinggal di Washington, mengatakan selalu memeriksa WeChat di pagi hari.
Karena, hanya lewat jalur itulah dirinya bisa berbicara dengan ibu dan teman-teman lamanya di China. Zu meninggalkan China pada 2008.
WeChat adalah solusi Zu dengan rekan-rekannya berkomunikasi di perusahaan konsultan milik China. Di aplikasi itu pula, ia menyimpan mata uang China di dompet virtualnya.
Yang paling sentimentil, ia menyimpan video dan klip audio ayahnya yang meninggal empat tahun lalu, tulis APNews, diakses Rabu (19 Agustus 2020).
Di China, WeChat atau dikenal dengan Weixin adalah layanan utama untuk SMS, media sosial, pesan taksi, pembayaran daring, dan lain-lain. Pendek kata, WeChat menyediakan banyak fitur dalam satu aplikasi.
“Banyak bisnis China bahkan tidak menerima kartu kredit lagi, tapi cukup dengan WeChat,” tulis APNews.
Platform milik Tencent ini memiliki lebih dari satu miliar pengguna, yang sebagian besar berada di China. Di AS, aplikasi ini diunduh dalam kisaran 19-26 juta.
Kurt Braybrook, yang menghabiskan 22 tahun berbisnis di Shanghai sebelum pindah kembali ke AS pada 2017, mengatakan, WeChat menjadi aplikasi tak tergantikan bagi dia dan istrinya yang lahir di China.
Dia bisa kehilangan sekitar 500 kontak WeChat andaikata AS memblokirnya.
“Jika mereka melarang sepenuhnya, itu akan menghapus koneksi ke keluarga istri saya, semua teman kami dan jaringan kontak bisnis saya yang saya bangun selama 22 tahun,” kata Braybrook, yang sekarang tinggal di Grand Rapids, Michigan.
Perintah Trump pada 6 Agustus, dirilis setelah beberapa jam tanpa penjelasan tambahan, dimaksudkan untuk melarang semua "transaksi yang terkait dengan WeChat", termasuk untuk TikTok. (Baca: Trump Resmi Larang Perusahaan AS Transaksi dengan Induk TikTok dan WeChat)
Kebijakan Trump telah membuat pengguna kebingungan sehingga sebagian pengguna mulai beralih ke layanan alternatif.
Beberapa hari setelah keluar kebijakan itu, sejumlah perusahan multinasional AS memprotesnya. Mereka khawatir kebijakan itu justru dapat menempatkan mereka pada posisi yang tidak menguntungkan. (Baca: Imbas Larangan Transaksi ke WeChat, Sejumlah Perusahaan AS Protes ke Trump)
Sehari setelah kebijakan Trump itu, Zhu mendapat lusinan pertanyaan dari teman, anggota keluarga, dan kolega, menanyakan apakah mereka harus beralih ke opsi perpesanan seperti Telegram, WhatsApp, atau Signal.
Dia masih tidak tahu apakah dia akan dapat mengakses uangnya, atau apa yang akan dia lakukan dengan semua kenangan ayahnya yang tersimpan itu.
“Kami tidak bisa membuat rencana,” kata Zhu.
Dia menyalahkan politisi, terutama Trump, atas tekanannya saat ini. "Kami adalah bidak yang dapat mereka manipulasi untuk diletakkan di mana saja di papan catur," tutur Zhu.
Di China, pengguna WeChat memang mendapat pengawasan atau sensor dari pemerintah China. Namun, ini berbeda dengan pengguna internasional yang mendaftarkan akun mereka di luar China.
Hanya, menurut lembaga riset keamanan siber, Citizen Lab di Toronto, mengatakan WeChat memantau dokumen dan gambar yang dibagikan di luar negeri untuk membantu penyensorannya di China. Namun, Tencent mengklaim awal tahun ini bahwa "semua konten yang dibagikan di antara pengguna internasional WeChat bersifat pribadi."
Dewan Perencanaan China-Amerika, sebuah badan layanan sosial Asia Amerika di New York yang bekerja dengan 60.000 warga New York, juga mengandalkan WeChat untuk berbagi informasi dengan anggota komunitas, kata juru bicara Carlyn Cowen.
Tahun ini, misalnya, badan tersebut telah mengirim pesan kepada anggotanya tentang partisipasi dalam Sensus AS.
Jika ada semacam larangan di WeChat, tidak jelas apa yang akan dilakukan lembaga tersebut, mungkin lebih sering menggunakan aplikasi lain. “Kami belum benar-benar memikirkan seperti apa itu,” kata Carlyn.[]
Share: