
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing. | Foto: Harian Nasional/Aulia Rachman
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam Lumban Tobing. | Foto: Harian Nasional/Aulia Rachman
Cyberthreat.id – Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan mengakui sulit untuk memberantas layanan pinjaman daring (fintech) ilegal. Salah satu alasannya, server layanan tersebut berada di luar negeri sehingga repot untuk diblokir.
Meski telah diblokir, mereka seperti “mati satu, tumbuh seribu”, hanya berganti rupa dengan nama baru. "Hari ini diblokir, besok muncul lagi, ini juga karena adanya perkembangan teknologi yang canggih. Orang jadi mudah bikin aplikasi," kata Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing dalam jumpa pers daring, Senin (13 Juli 2020).
Tongam mengatakan, sejumlah pengembang fintech ilegal menggunakan server di Amerika Serikat, China, Singapura, dan lain-lain. "Kegiatan mereka bisa kami katakan adalah mafia. Ada mafia Rusia, ada mafia India...," ujar Tongam.
Sepanjang Juni 2020, SWI memblokir 105 fintech ilegal yang menawarkan pinjaman ke masyarakat melalui aplikasi dan pesan singkat. Total layanan pindar yang telah diblokir sejak 2018 hingga Juni 2020 sebanyak 2.591 entitas.
Tongam mengatakan, server-server pindar ilegal tersebut beroperasi di luar negeri, antara lain 170 server di AS, 94 server di Singapura, 70 server di China, 22 server di Malaysia, sembilan server di Hong kong, dan tujuh server di Rusia.
Sementara, 272 server berada di Indonesia dan 530 server lainnya berada di lokasi yang tidak diketahui.
Di masa pandemi Covid-19 saat ini, kata dia, banyak pindar ilegal beraksi untuk mencari korban. Mereka memakai taktik lawas: kemudahan pinjaman melalui aplikasi atau media sosial.
Setelah korban didapat, aplikasi yang diinstal di perangkat korban akan mengakses ke seluruh kontak dan data pribadi.
"Harus hati-hati melakukan pinjaman terhadap platform ilegal. Kalau tak dapat pengembalian uang, mereka menjual data [korban] senilai 2-3 kali lipat dari yang dipinjam di pasar gelap," tutur Tongam.
Menurut dia, sebenarnya pindar ilegal tak sepenuhnya menjalankan bisnis pinjaman uang. Mereka bahkan tidak menghimpun dana dari pemberi pinjaman dan tidak menyalurkan dana itu sendiri. Mereka hanya bertindak sebagai "penghubung".
"Kegiatan fintech-fintech lending ilegal ini cenderung pada kegiatan perusahaan pembiayaan yang dilakukan secara elektronik, mengingat tidak ada pemberi pinjaman yang mengadu kepada OJK, dan sebaliknya banyak korban dari penerima pinjaman yang mengadu ke OJK," kata Tongam.
Sementara, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Sunu Widyatmoko, mengatakan, selama ini asosiasi selalu mengajak masyarakat agar tak meminjam uang di layanan ilegal.
Yang perlu dipahami oleh masyarakat, kata Sunu, layanan pindar dari AFPI hanya boleh mengakses tiga hal saja: kamera, mikrofon, dan lokasi.
Sunu mengatakan, asosiasi kini juga konsen terhadap perlindungan data pribadi para pelanggan dengan membangun pusat data fintech yang bernama Fintech Data Center (FDC). Tujuan pusat data ini diharapkan bisa mencegah praktik penipuan berkedok pinjaman daring.
Agar terhindar dari pindar ilegal, pengguna disarankan untuk memeriksa dulu apakah layanan itu terdaftar di OJK dan menjadi anggota AFPI.
AFPI sebagai asosiasi resmi dan mitra OJK memiliki wewenang memberikan sanksi kepada anggotanya bila terbukti melanggar aturan dan kode etik.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: