
Korban CoronaVirus di Italia
Korban CoronaVirus di Italia
Cyberthreat.id - Akun Twitter Al-Jazeera (@AJEnglish) pada Senin (30 Maret 2020) merilis sebuah video yang memperlihatkan ketidakpedulian banyak masyarakat di dunia terhadap pandemi Covid-19. Video tersebut diambil sebelum pandemi Covid-19 merebak secara global di berbagai negara. Dalam waktu 10 jam, video tersebut ditonton 30 ribu orang, 468 retweet, dan disukai 709 orang.
Konten video memperlihatkan sombongnya umat manusia sebelum mengetahui bahayanya pandemi. Banyak kerumunan anak muda dan massa yang masih berkeliaran di jalanan saat pandemi Covid-19 mulai menjalar di Wuhan, China, akhir Desember 2019 hingga Awal Januari 2020.
"Orang-orang yang mengabaikan peringatan kesehatan global di tengah pandemi #coronavirus sedang dideskripsikan sebagai #COVIDIOTS online. Apakah Anda salah satunya?" demikian cuitan Al-Jazeera yang disertai video tersebut.
Video menampilkan gambar dan situasi banyak manusia yang berkerumun, bergerombol, tidak mempedulikan protokol global "social distancing" ditambah dengan komentar bernada provokatif yang meremehkan pandemi Covid-19.
Di AS yang kini menjadi salah satu negara korban paling parah akibat Corona, memperlihatkan seorang pemuda yang berkomentar dengan sombongnya mengatakan tidak takut dengan Corona.
"Jika saya terkena Corona, Corona tidak akan dapat menghentikan saya untuk tetap berpesta," kata pemuda tersebut.
Faktanya, hingga Senin (30 Maret 2020) AS menjadi negara yang paling banyak penduduknya terinfeksi Corona. Sebanyak 164.248 orang terpapar virus dan 3.164 meninggal dunia. Jumlah orang terpapar di AS paling tinggi di dunia sementara jumlah korban jiwa keempat setelah Italia, Spanyol, dan China.
Kemunculan tagar COVIDIOT sebenarnya merupakan kritik terhadap kebodohan banyak orang dalam menanggapi wabah Covid-19. Di saat virus tersebut mulai menular ke berbagai negara, COVIDIOT berlanjut dengan berbagai situasi kepanikan seperti "panic buying" hingga konflik masyarakat di jalanan dan supermarket menjadi viral.
Video memperlihatkan banyak toko dan supermarket yang sudah kehabisan stok. Rak makanan kosong sementara di media sosial #COVIDIOT terus berlanjut. Di tengah kepanikan tersebut, konten-konten provokatif tetap saja muncul di berbagai platform media sosial.
Para influencer yang belum paham pandemi Covid-19 sempat menaikkan tagar "CoronaVirus Challenge" yang mendapat antusiasme luar biasa lewat klik di media sosial. Salah satu contohnya adalah tantangan menjilat kloset demi menunjukkan tidak takut terhadap Corona.
"Anda harus segera menghentikan kebodohan CoronaVirus Challenge. Membiarkan internet menyuruh Anda melakukan sesuatu yang berbahaya adalah sebuah kebodohan," ungkap seorang influencer yang berusaha melawan CoronaVirus Challenge.
Anggap Remeh Covid-19
Saat berbagai negara menerapkan kebijakan Lockdown dan larangan bepergian hingga liburan ke berbagai negara, barulah khalayak media sosial paham betapa berbahayanya CoronaVirus jika tidak ditangani secepatnya.
Negara langsung mengambil alih penanganan karena Covid-19 menular cepat dengan masa inkubasi yang sangat singkat. Kematian seolah terjadi dengan mudah karena dalam beberapa hari korban Covid-19 meninggal dunia.
Itulah kenapa pesan-pesan yang beredar di media sosial yang sebelumnya banyak meremehkan Covid-19 disesali. Setelah itu muncul pesan-pesan menakutkan di media sosial terkait CoronaVirus. Bahkan korban-korban digambarkan berjatuhan bak Zombie di jalanan akibat wabah Covid-19.
Padahal itu sebenarnya hoax dan disinformasi karena pada waktu bersamaan banyak pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh dan memiliki imunitas baru. Financial Times menyediakan konten gratis alias tak berbayar untuk setiap berita terkait CoronaVirus.
Di lamannya, Financial Times mengatakan "Setiap orang harus mendapat informasi terus-menerus tentang Corona. Untuk itulah kami sediakan halaman dan berita tak berbayar".
Di berbagai negara isu tentang kasus Covid-19 berkembang terutama soal data yang mengatakan orang dengan usia di atas 60 tahun paling rentan meninggal jika terpapar Covid-19. Akan tetapi, WHO telah menyatakan kaum muda jangan meremehkan Covid-19 sebagaimana fakta di Korea Selatan yang menyatakan sepertiga korban tewas Covid-19 adalah anak-anak muda.
"Dari total kasus Covid-19, hanya 12 persen yang menyebabkan kematian langsung akibat pandemi, sisanya kematian terjadi karena kombinasi Covid-19 dan penyakit lain," kata seorang penasihat Kementerian Kesehatan Italia dilansir Financial Times, Senin (30 Maret 2020).
Share: