
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id - Facebook, Google, dan Twitter 'memberontak' terhadap aturan sensor ketat yang akan diterapkan oleh Pakistan melalui UU serta mengancam akan meninggalkan negara tersebut secara bersamaan.
Seperti dilansir New York Times, kemarahan para raksasa teknologi itu diarahkan terhadap Peraturan Perlindungan Warga Pakistan (Against Online Harm) yang di dalamnya terdapat serangkaian tuntutan sensor ketat terhadap media sosial.
Aturan tersebut ditetapkan oleh pemerintah Pakistan yang salah satu poinnya adalah memberikan otoritas lokal kekuatan untuk menuntut platform media sosial untuk segera menghapus konten yang dianggap dipertanyakan atau bermasalah dalam waktu 24 jam.
Pakistan juga telah mengusulkan pembentukan kantor "Koordinator Nasional" untuk memantau layanan-layanan di media sosial.
Selain itu, platform media sosial harus menyediakan cara untuk mencegah streaming langsung terkait "konten online terkait terorisme, ekstremisme, ujaran kebencian, fitnah, berita palsu, hasutan untuk melakukan kekerasan dan mengancam keamanan nasional."
"Dalam waktu tiga bulan sejak peraturan baru mulai berlaku, perusahaan seperti Facebook dan Twitter juga harus membuka kantor permanen di negara itu, membangun satu atau lebih server lokal untuk menyimpan data di Pakistan," tulis ZD Net, Jumat (28 Februari 2020).
Aturan yang diusulkan juga memberikan pemerintah kewenangan untuk memblokir jaringan sosial jika mereka menolak untuk mematuhi atau mengenakan denda hingga lima ratus juta rupee atau sekitar $ 6,9 juta (Rp 96,4 miliar).
Para kritikus berpendapat aturan itu dirancang untuk mengekang kebebasan berbicara dan memaksakan sensor, dan tampaknya Facebook, Twitter, dan Google dipaksa menyetujui.
Organisasi yang tergabung di dalam Koalisi Internet Asia (AIC), sebuah asosiasi perdagangan yang membahas masalah-masalah inovasi dan regulasi internet di kawasan, menyebut peraturan Pakistan itu akan membuat Anggota AIC kesulitan menyediakan layanan untuk pengguna dan operasional bisnis Pakistan.
Dengan kata lain, lebih dari 70 juta penduduk tidak dapat mengakses Facebook dan Twitter, tetapi juga memanfaatkan berbagai layanan Google, yang sudah banyak digunakan oleh berbagai bisnis di seluruh dunia.
"Anggota AIC mengakui potensi kuat Pakistan, tetapi pengumuman mendadak dari aturan ini memungkiri (ungkapan) pemerintah Pakistan bahwa (aturan) itu terbuka untuk bisnis dan investasi," tulis pengaduan AIC.
Selain itu, AIC menilai tidak ada negara lain yang mengumumkan seperangkat aturan yang (sifatnya) menyapu. Menurut mereka Pakistan berisiko mengalami pengucilan global serta tidak perlu mengisolasi dan menghilangkan pengguna atau pebisnis Pakistan dari potensi pertumbuhan ekonomi Internet.
Share: