
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Pengguna Twitter, jejaring sosial microblogging, kini bisa memasang plug-in baru bernama “Safe DM” yang bisa memblokir konten-konten cabul, seperti cyber-flashing.
Cyber-flashing adalah praktik ekshibisionisme di dunia digital. Pelaku sengaja menyebarkan konten-konten cabul, biasanya foto/gambar/video seksual kepada perempuan yang tak dikenalnya.
Plug-in tersebut dikembangkan oleh Kelsey Bressler, perempuan yang konsen terhadap isu perlindungan perempuan. Bressler mengembangkan plug-in itu lantaran dirinya pernah menjadi korban cyber-flashing, menerima gambar telanjang dari seorang laki-laki tak dikenalnya.
Saat ini “Safe DM” yang dikenalkan di Twitter sejak 14 Februari 2020 masih dalam tahap pengembangan. Bressler menginginkan agar plug-in tersebut tersedia di platform media sosial lain.
"Kami ingin meluncurkan ini di platform medsos lain dan membahasnya kira-kira apa yang harus dilakukan setelah ini,” kata dia kepada BBC.
Untuk melatih teknologi kecerdasan buatan (AI) pada plug-in itu, pada September 2019 Bressler menguji coba dengan minta publik mengiriminya gambar-gambar alat kelamin, khususnya laki-laki.
Lebih dari 4.000 gambar diterimanya. Tim “Safe DM” mengklaim filter yang dikembangkannya bekerja dengan akurasi 99 persen.
Media daring Buzzfeed News juga melakukan uji coba menggunakan perangkat lunak tersebut. Hasilnya, alat tersebut memiliki keakuratan tinggi untuk memblokir dan menghapus gambar/foto alat kelamin laki-laki.
Untuk menggunakan filter blokir itu, pengguna perlu menambahkan plug-in ke akun Twitter-nya dan memberikan izin untuk akses ke pesan langsung (direct message).
Ketika perangkat lunak itu memindai pesan cabul, filter akan mengirimi balasan ke kedua belah pihak, membiarkan mereka tahu bahwa pesan itu tidak pantas dan telah dihapus.
Menurut Bressler, AI di filter tersebut sebatas mencari gambar yang tidak diinginkan dan tidak dirancang untuk bisa membaca teks pesan.
Sorotan AS dan Inggris
Di Amerika Serikat, menurut Pew Research Center, sebuah perusahaan riset, dalam laporannya pada 2017 menyebutkan, sekitar 53 persen perempuan dan 37 persen laki-laki (responden usia 18-29 tahun) mengaku telah dikirimi materi cabul secara online yang tidak pernah diminta.
Di Inggris, laporan statistik Kepolisian Transportasi Inggris (BTP) menunjukkan ada peningkatan kasus antara 2018-2019. Pada 2018, BTP menerima 34 kasus, tapi jumlah melonjak hampir dua kali lipat menjadi 66 kasus sepanjang tahun lalu.
Di AS, dua senator mengusulkan RUU larangan cyber-flashing. RUU itu diperkenalkan sebagai Senate Bill (SB) 1182 atau UU Forbid Lewd Activity and Sexual Harassment (Flash) atau Larangan Aktivitas Cabul dan Pelecehan Seksual. RUU itu diusulkan oleh Senator Connie Levya dan Lena Gonzales pada 20 Februari 2020.
Menurut Connie, siapa saja dilarang dan tidak dapat diterima dengan alasan apa pun mengirimi pesan atau konten cabul tanpa persetujuan penerima pesan. Dengan adanya RUU ini, “Pelaku akan dimintai pertanggungjawabannya,” ujar dia.
Connie menilai cyber-flashing adalah bentuk pelecehan seksual yang menargetkan perempuan. "Kita harus menghentikkan perilaku yang tidak bisa dimaafkan dan menyinggung ini,” kata dia seperti dikutip dari Infosecurity Magazine.
Sesuai RUU tersebut, pelaku cyber-flashing akan didenda US$ 500 (sekitar Rp 6 juta) untuk pelanggaran pertama, sedangkan pelaku yang melanggar berulang-ulang akan didenda US$ 1.000 (sekitar Rp 13 juta) untuk setiap pelanggaran selanjutnya.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: