IND | ENG
Indonesia Belum Ideal Menarik Pajak Digital

Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Pangerapan

Indonesia Belum Ideal Menarik Pajak Digital
Arif Rahman Diposting : Senin, 04 November 2019 - 20:01 WIB

Cyberthreat.id - Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Pangerapan, mengatakan Pemerintah sedang menyiapkan kondisi untuk penarikan pajak digital. Di era digital, kata dia, sebuah perusahaan/korporasi digital bisa membayar pajak di berbagai negara karena sifat ekonomi internet adalah tidak ada batasan (boundaries) negara.

"Sekarang itu justru kita siapkan kondisi penarikan pajak digital itu seperti apa," kata Semuel di acara FMB di Gedung Kementerian Kominfo, Jakarta, Senin (4 November 2019).

PP 71/2019 merupakan salah satu langkah pemerintah menyiapkan kondisi dan ekosistem pajak digital. Menurut Semuel, ketika Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) diwajibkan mendaftar dan beroperasi secara legal di Indonesia, maka semua itu akan terkait data yang bisa digunakan sebagai alat ukur penarikan pajak. 

"Jadi pajak bisa menjawab hal itu semua lewat mendaftar tadi, dimana kita lihat perpajakan ke depan tidak lagi satu negara. Bisa saja satu perusahaan bayar pajak ke beberapa negara. Pembukuannya pun dipisahkan," ujarnya.

"Ke depan kita harus tahu siapa yang beroperasi di Indonesia, mereka ngapain saja, mereka ada layanannya atau tidak. Setelah itu baru kita tarik (pajaknya)."

Dalam penarikan pajak digital, prinsip Kominfo adalah meyiapkan segala sesuatu yang bisa dilakukan. Nantinya, ketika ada PSE bandel dan enggak taat bayar pajak, Kominfo bisa mengambil langkah tegas dengan menutup operasinya di Indonesia.

"Sekali lagi, ekosistemnya itu tadi," tegas Semuel.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani berkali-kali menegaskan komitmennya untuk mengejar pajak digital. Ia mengatakan, kemana pun wajib pajak pergi, mulai dari berdagang di marketplace hingga berdagang di media sosial, Pemerintah akan berupaya mengejarnya.

"Ini bukan saya hobinya narikin Pajak ya, tapi namanya adalah prinsip keadilan. Tidak hanya Bukalapak dan Tokopedia yang saya pajaki, tapi kalau dia lari ke medsos akan saya pajaki," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu di Jakarta.

Sri Mulyani memang tidak membeberkan bagaimana teknis penarikan pajak tersebut. Sejauh ini langkah yang telah diambil Kementerian Keuangan adalah bekerja sama dengan marketplace dalam melakukan saluran penarikan pajak dan belum menyentuh penarikan pajak.

Tantangan terbesar dalam penarikan pajak digital menurut Sri Mulyani adalah bagaimana mewujudkan sebuah regulasi yang adil, kompetitif, memberikan kepastian hukum, meningkatkan kepatuhan wajib pajak sehingga meningkatkan pemasukan bagi negara.

"Kita harus cari tahu Policy yang tepat menyikapi pelaku ekonomi digital ini," ujarnya.

Berlaku Adil

Laporan E-Conomy South East Asia (SEA) 2019 menyatakan Indonesia dan Vietnam memiliki pertumbuhan luar biasa dalam perkembangan internet ekonomi. Disebutkan bahwa putaran uang di sektor ekonomi digital/internet Asia Tenggara menembus 100 miliar USD atau sekitar Rp 1.416 triliun.

Dari jumlah itu, lebih dari sepertiga memutar uang di Indonesia yang mencapai Rp 569 triliun (40 miliar USD). Pertumbuhan Indonesia memang luar biasa mengingat tahun 2015 ekonomi digital di Indonesia baru bernilai sekitar 8 miliar USD. Tahun 2025 potensi ekonomi digital Indonesia mencapai 130 miliar USD (Rp 1.967 triliun).

Ketua Asosiasi Cloud dan Hosting Indonesia (ACHI), Rendy Maulana, mengatakan Pemerintah harus berlaku adil dalam melakukan penarikan pajak terhadap korporasi digital asing serta pemain lokal. Ia mencontohkan ketika perusahaan lokal wajib bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPH) Badan.

"Kalau Amazon, Alibaba, Microsoft, Google itu enggak kena PPN dan PPH Badan, dibebaskan pajaknya. Jadi tidak adil secara penjualan, harus impor, sehingga tidak akan ada cerita barang dibeli di Indonesia itu murah kalau dibeli dari perusahaan Indonesia," katanya kepada Cyberthreat kemarin.

Contoh lain menurut Rendy adalah saat membeli domain. Di Indonesia, kata dia, domain .com pengguna kena harga Rp 150 ribu plus pajak. Sebaliknya di luar negeri hanya kena sekitar Rp 130 ribuan.

"Margin jual domain itu setahun paling cuma 5000 perak. Gede pajaknya, gede komplain usernya, sehingga orang tentu memilih beli diluar. Kalau perusahaan di Indonesia mau enggak mau harus tarik PPN."

#Pajakdigital   #pp71/2019   #asosiasicloudhostingindonesia   #achi   #cyberthreat   #srimulyani   #dirjenaptika

Share:




BACA JUGA
Europol Ingatkan Ancaman Bahaya Dari Metaverse dan AI
Diduga Basis Data Ditjen Pajak Dibocorkan di Forum Peretas. Beberapa File Terkait Laporan 100 Besar Penunggak Pajak 2021
Interpol Sebut Metaverse Bisa Memicu Kejahatan Siber Baru
Anggota G20 Sepakat Akan Atur Aset Kripto dan Mata Uang Digital
Kementerian Kominfo Buka Akses Origin