
Ilustrasi via Bangkok Post
Ilustrasi via Bangkok Post
Cyberthreat.id - Kerugian dari penipuan di media sosial meroket pada tahun 2021, menurut data Komisi Perdagangan Federal (FTC) yang dirilis Kamis.
Lebih dari 95.000 orang melaporkan kerugian sebesar US$770 juta atau setara Rp11 triliun akibat penipuan yang dimulai di media sosial. Jumlah itu naik dari US$258 juta pada tahun 2020 dan hanya US$42 juta pada tahun 2017.
Bagian dari kenaikan itu didorong oleh rekor kerugian penipuan cryptocurrency. Penipuan investasi merupakan 37% dari semua kerugian penipuan yang dilaporkan yang berasal dari media sosial pada tahun 2021, menurut FTC.
Para pelaku penipuan telah menemukan berbagai cara untuk menipu investor cryptocurrency, seperti apa yang disebut penipuan "giveaway" di mana korban disuruh mengirim uang dengan iming-iming pengembalian investasi lebih besar, namun faktanya tidak ada pengembalian.
Penipuan itu muncul dengan cepat setelah lonjakan popularitas koin baru dan bahkan dengan upaya terfokus, platform media sosial telah berjuang untuk menghentikannya.
FTC pada Maret 2021 melaporkan peningkatan signifikan dalam penipuan investasi cryptocurrency dengan korban melaporkan kerugian hampir $80 juta antara Oktober 2020 dan Maret 2021 saja. Korban seringkali tidak dapat menutup kerugian dari penipuan ini.
Namun, jumlah terbesar laporan ditelusuri kembali ke penipuan belanja online di mana penipu mengiklankan produk yang menyesatkan atau tidak ada di media sosial.
“Dalam hampir 70% dari laporan ini, orang mengatakan bahwa mereka melakukan pemesanan, biasanya setelah melihat iklan, tetapi tidak pernah mendapatkan barang dagangannya,” lapor FTC seperti dilansir Cyberscoop, Kamis.
“Beberapa laporan bahkan menggambarkan iklan yang meniru pengecer online nyata yang mendorong orang ke situs web yang mirip,” tambah FTC.
Hampir sembilan dari 10 laporan menyebut Facebook atau Instagram sebagai sumber dalam laporan mereka tentang barang yang tidak terkirim.
Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, tidak menanggapi komentar.
Penipuan semacam itu juga berkembang biak di platform media sosial lainnya, termasuk TikTok dan YouTube, seperti yang dicatat oleh perusahaan keamanan Tenable.
Penipuan asmara - di mana orang asing berpura-pura mencintai seseorang dan kemudian meminta uang - juga ikut menyumbang kenaikan. Facebook juga memainkan peran besar dalam laporan ini: lebih dari sepertiga orang yang mengatakan mereka kehilangan uang karena penipuan asmara online pada tahun 2021 mengatakan itu dimulai di Facebook atau Instagram.
Menariknya, penipuan yang berasal dari media sosial adalah satu-satunya jenis penipuan di mana orang berusia 18 hingga 39 tahun memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar daripada orang dewasa untuk melaporkan kehilangan uang karena jenis penipuan tersebut.[]
Share: