
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Survei bertajuk “The Truth Gap” yang dirilis oleh Plan International Australia baru-baru ini memperlihatkan bagaimana misinformasi dan disinformasi berdampak bagi kehidupan sosial.
Sekitar 87 persen dari 26.000 gadis dan wanita muda (15-24 tahun) di 26 negara mengatakan, misinformasi dan disinformasi memiliki efek buruk.
Plan International Australia pun menyerukan agar pemerintah memperluas literasi digital kepada anak-anak dan remaja.
"Internet membentuk opini perempuan tentang diri mereka sendiri, isu-isu yang mereka pedulikan dan dunia di sekitar mereka," kata CEO Plan International Susanne Legena, dikutip dari The New Zealand Herald, diakses Selasa (5 Oktober 2021).
"Penelitian kami memperjelas bahwa penyebaran informasi palsu secara online memiliki konsekuensi kehidupan nyata,” katanya.
“Ini berbahaya, mempengaruhi kesehatan mental anak perempuan, dan itu adalah sesuatu hal yang [bisa] menahan mereka untuk tidak terlibat dalam kehidupan publik,” Susanne menambahkan.
Disebutkan, bahwa satu dari tiga responden menilai informasi palsu bisa memengaruhi kesehatan mental, stres, khawatir atau cemas. Sementara satu dari lima responden bilang merasa tidak aman secara fisik.
Menurut laporan itu, 83 persen gadis dan wanita muda Australia yang disurvei mengatakan telah terpapar informasi palsu atau menyesatkan, lalu sekitar 95 persen mengatakan mereka khawatir tentang informasi yang salah atau disinformasi online.
Lebih dari setengah dari 1.001 gadis Australia yang disurvei mengatakan bahwa informasi yang salah, kebohongan, dan konspirasi tentang Covid-19 adalah yang paling umum terjadi, diikuti oleh isu perubahan iklim (38 persen) dan keadilan rasial (37 persen).
Menurut Susanne, para pengguna internet kalangan remaja (gadis) dan wanita muda saat ini dibombardir secara online labelling atau stereotip tentang tubuh wanita, siapa dirinya, dan bagaimana dirinya harus bersikap.
“Dan, para gadis memiliki rasa takut yang begitu nyata bahwa acara dan profil palsu akan memikat dan menipu mereka dalam bahaya offline (dunia nyata, red),” tuturnya.
Wawancara mendalam juga memperlihatkan bahwa remaja perempuan merasa tidak nyaman karena pertukaran informasi online justru meningkatkan ketegangan di sebuah komunitas.
Sementara yang lain, tulis NZ Herald, juga mencemaskan acara (event) palsu yang diiklankan di media sosial juga menempatkan mereka dalam risiko fisik. Bahkan, saran medis di online yang tidak dapat diandalkan bisa membahayakan kesehatan atau mempengaruhi kepercayaan terhadap saran medis yang sah.
Facebook tertinggi
Survei juga menemukan bahwa Facebook adalah platform media sosial yang diyakini anak perempuan memiliki misinformasi dan disinformasi paling banyak, dipilih oleh 65 persen responden Australia, diikuti oleh TikTok, WhatsApp, dan YouTube– masing-masing sebesar 27 persen.
Tujuh dari 10 responden Australia mengatakan mereka telah melihat informasi yang salah/disinformasi di platform media sosial. Rinciannya, sekitar 51 persen mengatakan telah melihatnya di platform berbagi video, sekitar 36 persen di forum dan pesan daring, dan 36 persen di blog.
Sekitar 35 persen mengatakan mereka telah menemukan informasi yang salah di Wikipedia atau halaman wiki dan mesin pencari lainnya.
Kebanyakan anak perempuan tidak diajari untuk mengidentifikasi informasi yang salah di sekolah (67 persen) atau oleh orang tua mereka (75 persen).
Negara berpenghasilan rendah rentan
Sementara, secara global, menurut responden, sumber tepercaya adalah media berita arus utama (dipilih 48 persen responden), lalu lembaga pendidikan, anggota keluarga, dan pemerintah.
Juga, sekitar 28 persen mengaku diarahkan untuk mempercayai mitos atau “fakta palsu” tentang Covid-19, dan 25 persen mempertanyakan vaksinasi.
Para gadis dan wanita muda dari negara berpenghasilan rendah dan menengah, menurut laporan itu, lebih mungkin terpengaruh oleh informasi online yang tidak dapat diandalkan atau palsu, dan dua kali lebih mungkin untuk mempertanyakan apakah akan mendapatkan vaksin (31 persen) dibandingkan mereka yang berada di negara berpenghasilan tinggi (16 persen).[]
Share: