
Saiful Mahdi (baju putih) saat menjalani persidangan | Foto: Akun Facebook Saiful Mahdi
Saiful Mahdi (baju putih) saat menjalani persidangan | Foto: Akun Facebook Saiful Mahdi
Cyberthreat.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md memastikan Presiden Joko Widodo setuju memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang dihukum 3 bulan penjara karena dinilai melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut Mahfud, amnesti untuk Saiful Mahdi sedang dalam proses. Mahfud memperkirakan bisa dirampungkan pekan depan.
"Kami pemerintah kirim surat ke DPR minta pertimbangan, ini presiden mau mengampuni orang itu secepatnya. Insya Allah lah dalam satu minggu ke depan sudah bisa kami keluarkan," kata Mahfud dalam diskusi di Twitter Space bersama Didik Rachbini, Rabu, 29 September 2021.
Kasus Saiful Mahdi, kata Mahfud, adalah bagian dari polemik penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Indonesia. Itu pula yang membuat pemerintah ingin merevisi UU ITE, termasuk membuat panduan tafsir bagi aparat penegak hukum.
Mahfud mengatakan pemerintah tak peduli bahwa Saiful dulunya dikabarkan seorang yang bukan pro pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Yang ingin saya katakan ini aparat jangan sembarang menangkap orang. Kalau ada orang menemukan kata-kata atau penghinaan melalui medsos, enggak usah ditangkap, tapi didamaikan saja orangnya," kata Mahfud.
Proses hukum baru bisa dilakukan jika upaya damai tak dapat ditempuh. Contohnya bila orang yang merasa dihina ngotot tak terima jalur damai dan ingin proses hukum berjalan. Dengan cara ini, Mahfud mengharapkan tak akan banyak kasus penghinaan lewat UU ITE yang dilaporkan.
"Tidak (seperti) sekarang itu asal ada laporan ditangkap," kata Mahfud.
Seperti diberitakan sebelumnya, Saiful Mahdi menjalani hukuman penjara terhitung sejak 2 September lalu, setelah Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menjatuhkan vonis tiga bulan penjara dan denda Rp10 juta yang dapat diganti dengan tambahan masa penjara 1 bulan lagi.
Kasus itu bermula pada 5 Februari 2019. Saat itu, Saiful mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik USK. Kritikan disampaikan dalam sebuah grup WhatsApp yang anggotanya terbatas.
"Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?" tulis Saiful seperti dikutip Cyberthreat.id dari putusan pengadilan yang dapat diakses online di situs web Mahkamah Agung.
Seorang dosen lain bernama Muzailin Affan kemudian mengadukan postingan Saiful itu kepada Taufiq Saidi yang saat itu menjabat sebagai dekan Fakultas Teknik USK. Taufiq yang bukan anggota grup WhatsApp tersebut kemudian melaporkan Saiful Mahdi ke polisi.
Sehari menjelang Saiful dijebloskan ke tahanan, sejumlah akademisi nasional yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar memberikan amnesti atau pengampunan kepada Saiful Mahdi.
“Penahanan terhadap Saiful Mahdi apabila terus dilakukan akan menjadi bukti paling telanjang betapa kaum akademisi telah menjadi kelompok yang rentan secara hukum bahkan di lingkungan kerja mereka sehari-hari,” kata KIKA yang sebagian besar anggotanya berasal dari sejumlah fakultas hukum di kampus-kampus ternama di Indonesia, Rabu (1 September 2021).
Menurut KIKA, putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Saiful telah mencederai kebebasan akademik dan marwah kampus sebagai tempat yang seharusnya melindungi sikap dan pandangan kritis. Menurut KIKA, Saiful merupakan korban penggunaan hukum untuk untuk menekan dan mematikan kritik internal dalam universitas.
Menurut KIKA, belakangan ini ada gejala buruk di dunia perguruan tinggi di mana banyak pimpinan kampus telah bertindak seperti diktator-diktator kecil.
“Penyelewengan yang mereka lakukan disembunyikan dengan memanfaatkan akses mereka kepada hukum dan kekuasaan politik yang sekaligus dengan itu mereka menekan dan mematikan kritik internal,” ujarnya.
Selain meminta Jokowi memberikan amnesti, KIKA mendesak pencabutan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik. (Selengkapnya lihat: Dosen di Aceh Jadi Korban UU ITE, Kaukus Akademisi Desak Jokowi Beri Amnesti).[]
Share: