
Saiful Mahdi (baju putih) saat menjalani persidangan | Foto: Akun Facebook Saiful Mahdi
Saiful Mahdi (baju putih) saat menjalani persidangan | Foto: Akun Facebook Saiful Mahdi
Cyberthreat.id - Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar memberikan amnesti atau pengampunan kepada Saiful Mahdi, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Saiful terancam dieksekusi untuk menjalani hukuman 3 bulan penjara terhitung mulai 2 September 2021, bertepatan dengan Hari Pendidikan Daerah Aceh yang juga hari berdirinya kampus tempat Saiful mengajar. Eksekusi ini terjadi setelah putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan sebelumnya di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Saiful divonis melanggar UU ITE pasal 27 ayat 3.
“Penahanan terhadap Saiful Mahdi apabila terus dilakukan akan menjadi bukti paling telanjang betapa kaum akademisi telah menjadi kelompok yang rentan secara hukum bahkan di lingkungan kerja mereka sehari-hari,” kata KIKA yang sebagian besar anggotanya berasal dari sejumlah fakultas hukum di kampus-kampus ternama di Indonesia, Rabu (1 September 2021).
Kasus ini terjadi pada 5 Februari 2019. Saat itu, Saiful mengkritik hasil penerimaan CPNS di lingkungan Fakultas Teknik USK. Kritikan itu disampaikan dalam sebuah grup WhatsApp yang anggotanya terbatas."Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup?" tulis Saiful seperti dikutip Cyberthreat.id dari putusan pengadilan yang dapat diakses online di situs web Mahkamah Agung.
Seorang dosen lain bernama Muzailin Affan kemudian mengadukan postingan Saiful itu kepada Taufiq Saidi yang saat itu menjabat sebagai dekan Fakultas Teknik USK. Taufiq kemudian melaporkan Saiful Mahdi ke polisi.
Pengadilan Negeri Banda Aceh kemudian memvonis Saiful bersalah. Ia dijatuhi hukuman tiga bulan penjara dan denda sebesar Rp10 juta yang dapat diganti dengan tambahan masa penjara selama 1 bulan lagi.
Tak terima dengan keputusan itu, Saiful kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Aceh. Di sana, lagi-lagi dia kalah dan melanjutkan kasusnya ke Mahkamah Agung. Dalam putusan kasasi pada akhir Juni lalu, Mahkamah Agung justru menguatkan keputusan pengadilan sebelumnya.
Menurut KIKA, putusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Saiful telah mencederai kebebasan akademik dan marwah kampus sebagai tempat yang seharusnya melindungi sikap dan pandangan kritis. Menurut KIKA, Saiful merupakan korban penggunaan hukum untuk untuk menekan dan mematikan kritik internal dalam universitas.
Menurut KIKA, belakangan ini ada gejala buruk di dunia perguruan tinggi di mana banyak pimpinan kampus telah bertindak seperti diktator-diktator kecil.
“Penyelewengan yang mereka lakukan disembunyikan dengan memanfaatkan akses mereka kepada hukum dan kekuasaan politik yang sekaligus dengan itu mereka menekan dan mematikan kritik internal,” ujarnya.
Selain meminta Jokowi memberikan amnesti, KIKA mendesak pencabutan pasal-pasal karet dalam UU ITE yang kerap dijadikan alat untuk membungkam kritik.
Sebelumnya, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Henry Subiakto yang juga terlibat dalam tim evaluasi UU ITE bentukan Kemenko Polhukam juga tidak sepakat dengan putusan Mahkamah Agung. Menurutnya, putusan itu telah menzalimi Saiful Mahdi.
"Saiful Mahdi diputus telah melanggar pasal 27 ayat 3 UU ITE. Padahal pasal itu memiliki unsur-unsur yg jelas, harus ada konten berupa menyerang kehormatan seseorang. Dengan Menuduhkan sesuatu hal. Agar diketahui umum, atau didistribusikan.
Menurut Henry, kalimat yang disampaikan Saiful di grup WhatsApp itu tidak menyerang kehormatan seseorang karena tidak menyebut nama siapa pun. Selain itu, Saiful hanya mengirimnya di grup WhatsApp dosen yang anggotanya terbatas, bukan di media sosial yang sifatnya lebih umum dan terbuka.
"Apa yang diputus PN, PT hingga kasasi MA ini jelas-jelas berbeda dan tidak sesuai dengan pemahaman norma pembuat UU, yang sekarang dituangkan dalam SKB pedoman implementasi UU ITE yang ditandatangani Kapolri, Jaksa Agung dan Menkominfo," kata Henry.
Saiful sendiri yang turut hadir dalam eksaminasi putusan yang ditayangkan di kanal YouTube KIKA pada Rabu (1 September 2021), dengan suara bergetar mengatakan,"Peristiwa ini adalah pukulan telak dalam hidup saya, karena menguncang nilai-nilai yang selama ini saya pegang teguh."
Menurut Saiful, kritiknya di grup WhatsApp diorong oleh keprihatinannya terhadap hasil tes CPNS 2018 di USK.
"Mengapa saya begitu peduli dan menyiarkan keprihatinan saya terhadap hasil tes CPNS 2018 di USK, karena seleksi berbasis meritokrasi akan membuka kesempatan bagi putra-putri bangsa yang terbaik tanpa diskriminasi. Dampak akhirnya adalah mutu pendidikan anak-anak bangsa. Meritokrasi tidak bisa ditegakkan tanpa kejujuran," ujarnya.
Saiful menegaskan kejujuran adalah salah satu nilai yang diyakininya sebagai individu, sebagai guru, dan sebagai ayah.
"Kejujuran dan integritas adalah syarat mutlak seorang pedidik dalam menjalankan darmanya... Saya menjadi korban dari buruknya tafsir terhadap pasal karet UU ITE," kata Saiful.
Istri Saiful, Dian Rubianty, dalam sesi terpisah mengatakan bahwa suaminya terus dikriminalisasi dan diadili karena mengungkap kebenaran.
“Perjuangan seorang Saiful Mahdi akan dihentikan secara fisik, besok Bang Saiful akan menjalani eksekusi,” kata Dian dalam acara Orasi Kebudayaan Saiful Mahdi yang difasilitasi KIKA, Rabu (1 September 2021).
Dian mengatakan, dirinya meyakini meskipun Saiful harus mendekam di penjara, namun kebenaran yang diperjuangkan tidak pernah ikut terpasung. []
Share: