
Fakta angka tentang GoTo. | Foto: GoTo
Fakta angka tentang GoTo. | Foto: GoTo
Cyberthreat.id – Gojek dan Tokopedia akhirnya resmi merger dengan nama baru GoTo. Apa saja kira-kira dampak pasar dan ancamannya dari merger kedua raksasa perusahaan internet Indonesia ini?
Head of Center of Innovation and Digital Economy Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Nailul Huda, memprediksi merger tersebut bakal berdampak adanya integrasi vertikal di ekosistem dua perusahaan.
Potensi timbul masalah dari integrasi vertikal yaitu para pesaing tidak bisa masuk ke ekosistem GoTo. Misalnya, dalam layanan logistik, Tokopedia bakal fokus menggunakan layanan Gojek, bukan milik pesaing.
"Harusnya itu bisa disemprit sama Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," ujarnya kepada Cyberthreat.id, Senin (17 Mei 2021).
Kondisi tersebut sudah terjadi di layanan pasar daring, Shopee, yang baru-baru ini lebih mementingkan layanan logistik Shopee Express ketimbang layanan lain.
GoTo kemungkinan, kata dia, membeli layanan logistik entah startup atau perusahaan yang sudah berkembang, karena mereka belum memiliki layanan tersebut. Prediksi ini didasarkan pada pengalaman sebelumnya, misal, Gojek membeli Moka, sistem layanan kasir, lantaran belum ada di ekosistem perusahaan. Begitu juga, saat Gojek berinvestasi di bank digital bernama Bank Jago—sebelumnya Bank Artos Indonesia.
Nailul mengatakan ada juga potensi masalah finansial atau alat pembayarannya. "Penggunaan e-wallet akan jadi masalah ketika Tokopedia menyediakan perlakuan khusus untuk GoPay atau untuk GoTo finansialnya," ujarnya.
Sumber: GoTo
Namun, secara keseluruhan, ia memandang GoTo belum terlalu mendominasi pasar untuk layanan transportasi, e-commerce, dan dompet digital. Ini karena pesaing lain masih memiliki kesempatan yang sama.
"Penguasaan pangsa pasar itu (oleh GoTo) sebenarnya enggak terlalu, tetapi lebih ke potensi integrasi vertikal yang merugikan pesaing, gitu," ujarnya.
Pertarungan tiga konglomerasi
Di Indonesia, kata Nailul, akan menjadi pertarungan tiga konglomerasi. Pertama, Grup GoTo itu sendiri. Lalu, Sea Group yang mengoperasikan Shopee, dan terakhir Grup Grab.
“Ketiga inilah yang akan menguasai ekonomi digital di Indonesia, “ kata dia.
Menurut dia, untuk perusahaan rintisan (startup) atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang memiliki lini bisnis yang sama dengan ketiga konglomerasi tersebut dinilai akan sulit bersaing.
Nailul pun mencontohkan seperti layanan ojek online dan delivery food, Maxim, yang tidak bisa menyaingi Gojek dan Grab, kecuali punya dana besar untuk merusak dominasi pasar keduanya.
Big data
Terkait big data, Nailul mengatakan, Indonesia belum memiliki regulasi perlindungan data bagi pengguna platform. Ini yang menyulitkan pemerintah mengawasinya.
"KPPU itu tidak memiliki kewenangan untuk meminta data ya, [pernah] kasusnya adalah Gojek. Gojek itukan dinilai ada predatory pricing. KPPU tidak melihat datanya loh, padahal kalau predatory pricing kan harusnya mempunyai data price sama data cost-nya. Nah, KPPU tidak punya, minta ke Gojek pun tidak dikasih. Memang tidak bisa memaksa," ujar dia.
Menurut dia, peraturan yang ada tidak bisa menguatkan, bahwa Tokopedia, Gojek atau perusahaan digital lainnya dapat diminta datanya oleh pemerintah.
"Seharusnya kan pemerintah bisa punya real time data mengenai transaksi, kan," katanya. Dia mencontohkan, bank wajib menyetorkan datanya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ketika ada yang mencurigakan, langsung bisa ditelusuri. Sementara untuk perusahaan digital tidak ada.
Oleh karenanya, UU Pelindungan Data Pribadi dinilai sangat penting karena dapat memaksa para perusahaan digital membuka datanya kepada stakeholder.
Selain masalah intergrasi vertikal dan potensi big data, Nailul melihat proses pra-notification perlu didorong bagi perusahaan-perusahaan yang akan merger.
Karena selama ini ketika ada perusahaan merger, mereka baru memberitahukan ke KPPU setelah merger terjadi atau post-notification.
Menurut Nailul, proses pra-notication adalah cara usang. Oleh karenanya, ia sepakat jika UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat perlu direvisi.
Menurut dia, seharusnya perusahaan-perusahaan sadar untuk mulai memberi notifikasi ke KPPU setelah merger agar lembaga tersebut bisa melakukan analisisnya.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: