
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat, Herman Khaeron
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat, Herman Khaeron
Cyberthreat.id – Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Demokrat, Herman Khaeron, menyarankan agar revisi Undang-undang Perlindungan Konsumen haruslah disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
Hal itu disampaikan Herman dalam webinar "Apa Kabar RUU Perlindungan Konsumen" yang diselenggarakan oleh
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Senin (3 Mei 2021).
Menurut Herman, pemerintah harus segera merevisi Undang– undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan menyesuaikan perkembangan teknologi yang ada. Pemerintah, kata dia, perlu menyiapkan ekologi transaksi yang komprehensif, berorientasi pada konsumen, dan mampu mengikuti perkembangan teknologi yang disertai dengan kampanye literasi digital.
“Perlu ada paradigma baru di masa depan untuk membentuk kebijakan yang consumer centric yang dapat mendorong satu upaya pemaksimalan pembangunan ekonomi nasional,” kata Herman.
Herman mengatakan, rancangan Undang Undang Perlindungan Konsumen harus memperhatikan dinamika dalam ekonomi digital, sehingga akan ada aspek kode etik dalam kesepakatan berdagang, kepastian mutu dan kualitas barang/jasa, menajemen resiko, serta kebijakan lintas batas lainnya yang disepakati bersama.
Herman juga mengingatkan, aturan mengenai peluang sengketa tidak hanya bisa terjadi secara offline namun juga online. Dalam hal ini termasuk seluruh aspek hukum terkait perjanjian, penggunaan uang yang bersifat elektronik serta perangkat yang ada di dalam ekosistem ekonomi digital harus terjamin dan terawasi dengan baik oleh negara.
“Perlu ada satu re-orientasi fokus dari pemerintah ke konsumen di era digital, mengingat pendekatan lintas sektoral tidak lagi mumpuni dalam melindungi kepentingan konsumen,” ujarnya.
Herman juga menyebutkan ada beberapa tantangan yang dihadapi terkait dengan perlindungan konsumen di era digital, termasuk perubahan perilaku konsumen di era digital yang ingin serba praktis dan serba cepat.
Selain itu, terdapat praktik pemasaran yang buruk oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) di mana ada penyampaian informasi yang tidak jelas (misleading information) yang kemudian dapat dapat berujung pada kesulitan bagi konsumen itu sendiri melaksanakan kewajibannya, yang menyebabkan masalah terkait perlindungan konsumen.
“Masyarakat juga harus selalu berhati – hati dan bijak dalam memilih produk atau layanan keuangan, dan perlunya edukasi guna meningkatkan literasi keuangan konsumen dan masyarakat, terutama bijak dalam menyikapi tawarin investasi maupun pinjaman yang dirasa semakin mudah,” ujar Herman.
Herman menambahkan, secara keseluruhan Indonesia sudah memiliki satu bentuk sistem hukum dan perangkat kelembagaan yang berorientasi pada upaya Perlindungan konsumen melalui UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Selain itu itu Indonesia juga memiliki lembaga seperti BPKN, BPSK, YLKI dan LPKSM.
"Namun masih terdapat tumpang tindih peraturan dan keterbatasan kewenangan yang juga dipengaruhi oleh alokasi sumber daya yang tidak imbang atau perangkat kebijakan yang tidak berlaku secara menyeluruh. Hal ini akhirnya menghambat pembangunan sistem perlindungan konsumen di Indonesia," kata Herman. []
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: