
Tangkapan layar video permintaan maaf AM kepada Gibran | Instagram @PolrestaSurakarta.
Tangkapan layar video permintaan maaf AM kepada Gibran | Instagram @PolrestaSurakarta.
Cyberthreat.id - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengkritik tindakan polisi virtual Polresta Surakarta yang menangkap AM dan memaksanya meminta maaf secara terbuka lantaran mengkritik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang juga Wali Kota Solo.
Menurut ICJR, tindakan polisi virtual itu merupakan langkah mundur kebebasan berpendapat dan berdemokrasi.
"Meskipun telah dilepaskan, ICJR menilai tindakan penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut merupakan tindakan yang berlebihan dan langkah mundur pascapidato Presiden Jokowi soal kebebasan berpendapat dan demokrasi," tulis peneliti ICJR Sustira Dirga melalui keterangan tertulisnya, Selasa (16 Maret 2021).
AM berurusan dengan polisi virtual Polresta Surakarta setelah menulis komentar di akun @garudarevolution menanggapi keinginan Gibran agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.
"Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja," tulis AM di akun pribadinya @arkham_87 pada Sabtu (13/3) pukul 18.00 WIB.
Polisi kemudian menangkap AM dan baru dilepas setelah menghapus komentarnya dan meminta maaf. Pe rmintaan maaf dalam bentuk video itu kemudian diunggah di akun resmi Instagram Polresta Surakarta, @PolrestaSurakarta.
"Saya menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Apabila saya mengulanginya, saya bersedia diproses secara hukum yang berlaku," kata AM di video itu.
Menurut Sustira, kasus AM menunjukkan kaburnya batasan-batasan penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) oleh aparat penegak hukum.
Sustira bilang, polisi tak seharusnya menangkap AM dalam kasus itu. Sebab, kata dia, jika merujuk pada Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang penghinaan, pasal itu seharusnya digunakan sebagai delik aduan absolut. Artinya, polisi tidak bisa main tangkap jika tidak dilaporkan langsung oleh korban penghinaan.
"Pertanyaannya, apakah Gibran membuat pengaduan kepada kepolisian atau tidak. Jika tidak, maka kepolisian telah salah dalam menerapkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE," kata Sustira.
Catatan Cyberthreat.id, Kapolri Jenderal Pol Listy Sigit Prabowo sendiri pada 17 Februari lalu menegaskan bahwa dalam kasus yang menggunakan UU ITE, meminta jajarannya agar jika ada pelaporan yang bersifat delik aduan, yang melapor haruslah kobannya.
"Jangan diwakil-wakili lagi. Ini supaya tidak ada asal lapor, nanti kita yang kerepotan," katanya.
Penegasan Kapolri itu diucapkan tak lama setelah pegiat media sosial pendukung Jokowi, Permadi Arya alias Abu Janda, dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Ketua KNPI Haris Pertama terkait cuitan Abu Janda di Twitter yang dianggap bernada penghinaan rasial terhadap mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai. (Lihat: Cuitan di Twitter Bikin Abu Janda Dilaporkan KNPI ke Bareskim Polri)
Selain itu, Sustira menambahkan, jika yang digunakan adalah pasal 28 ayat (2) UU ITE yang sering digunakan untuk menyasar kelompok atau individu yang mengkritik institusi, menurut Sustira, itu juga tidak tepat. Sebab, komentar AM ditujukan kepada Gibran yang merupakan seorang individu.
Sustira merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 134, Pasal 136 dan Pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden. Dalam putusan itu, MK mengingatkan agar penggunaan pasal pidana yang mengkriminalisasi kritik terhadap badan pemerintah harus dihindari oleh aparat penegak hukum.
Ia mengatakan restorative justice seharusnya merupakan upaya pemulihan kondisi antara pelaku, korban dan masyarakat. Sementara dalam kasus ini, ia menduga tak ada korban yang dirugikan karena Gibran tidak melaporkan kasus tersebut.
"Tindakan polisi bukan merupakan restorative justice. Dan hal ini sangat berbahaya sebab justru menimbulkan iklim ketakutan pada masyarakat dan tidak memulihkan," tamb Pahnya.
Sustira menilai kasus ini membuktikan keberadaan polisi virtual justru mengancam demokrasi dan membuat masyarakat takut mengkritik pemerintah. Padahal, baru sebulan lalu Presiden Jokowi meminta masyarakat aktif mengkritik pejabat publik untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik.
Saat itu, menanggapi permintaan presiden, netizen pun mengungkapkan kekhawatirannya akan berhadapan dengan polisi atau dirisak secara online oleh pendukung presiden yang sering disebut sebagai "buzzer pemerintah."
"Jokowi: Masyarakat Harus Aktif Sampaikan Kritik dan Masukan'. Pak Sini Deh Saya Bisikin .. Bapak Tau Ga Sekarang Masyarakat Tuh Pada Takut Kalo Mo Kritik Krn Ntar Ujung2 nya Antara DiBully pendukung bapak Atau Masuk Jail," tulis akun @Stevaniehuangg di Twitter. (Lihat: Jokowi Minta Masyarakat Aktif Mengkritik, Netizen: Mimpi Aja Dilaporkan ke Polisi dan Dibully Buzzer)
Menurut Sustira, daripada membuat masyarakat takut melontarkan kritikan kepada pejabat publik melalui media sosial, sebaiknya polisi virtual difokuskan untuk menangani kejahatan siber yang marak di media sosial, seperti penipuan online.[]
Share: