
Ilustrasi via Tribunnews
Ilustrasi via Tribunnews
Cyberthreat.id - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima aduan dari perempuan yang mengalami ancaman dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual di ranah siber. Itu membuat perempuan rentan dikriminalisasi dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Paling banyak kasus yang dilaporkan adalah ancaman dan tindakan penyebaran foto atau video bermuatan seksual, yang mengakibatkan korban dipermalukan bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE dan UU Pornografi," tulis Komnas Perempuan dalam siaran persnya, dikutip Selasa (16 Maret 2021).
Perempuan sebagai korban kekerasan berbasis gender siber (KBGS), menurut Komnas Perempuan dapat dikriminalisasi dengan menggunakan UU ITE karena pasal terkait kesusilaan bersifat sumir dan perspektif penegak hukum serta masyarakat dalam kasus terkait kesusilaan cenderung memojokkan perempuan. Karena itu, Komnas Perempuan berpandangan pemerintah dan DPR RI sebaiknya merevisi UU ITE.
Komnas Perempuan mengatakan bahwa kasus itu tidak hanya ranah publik melainkan personal, di mana dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan perkawinan atau pertalian darah dan juga oleh mantan suami/pacar.
"Fakta bahwa mantan suami/pacar melanjutkan kekerasan terhadap mantan pasangannya di ruang siber [..] Tubuh dan seksualitas perempuan menjadi alat kontrol dan balas dendam mantan suami/pacar," kata Komnas Perempuan.
Beberapa waktu lalu, aktivis isu gender, Tunggal Pawestri juga mengatakan hal serupa dengan Komnas Perempuan bahwa ada yang diancam oleh mantan pacarnya yang telah berhubungan seksual, akan disebarkan video bermuatan seksual yang melibatkan dirinya. Korban, kata Tunggal, takut bisa terjerat dengan UU ITE, selain UU Pornografi jika memang video/fotonya tersebar. Spesifiknya Tunggal mengatakan pasal 27 ayat 1 UU ITE.
Sekedar informasi, pasal 27 ayat 1 UU ITE berbunyi "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan".
Dihubungi terpisah, Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini membenarkan temuan Tunggal itu. Dalam catatan tahunan 2020 yang diperoleh Cyberthreat.id, Komnas Perempuan menerima 370 aduan, termasuk ancaman distribusi foto/video yang dikategorikan sebagai Malicious Distribution, salah satu jenis dari KBGS.
Theresia menjelaskan, pelaku mengancam akan menyebarkan foto dan videonya agar korban tetap melakukan apa yang dikehendaki pelaku. Misalnya, tidak melapor ke orang lain, tidak meninggalkan pelaku (dalam hubungan pacaran), hingga terus berhubungan seksual dengan pelaku, dan pemerasan. Tindakan itu digolongkan sebagai sextortion atau pemerasan seksual.
Sebelumnya, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menjelaskan para pelaku itu menginginkan sesuatu bisa berupa uang atau tindakan. Jika menginginkan uang, maka pelaku memeras korban dengan mengancam menyebarkan foto-foto vulgar milik korban. (Lihat: Pemerasan Seksual, Bagaimana Kita Menghadapinya?)
Theresia mengatakan, pelaku juga ada yang mengancam menyebarkan video/foto bermuatan seksual karena ingin melakukan balas dendam atau revenge porn.
Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan 2020, ada 71 aduan terkait perempuan yang mengalami revenge porn, atau kegiatan menyebarkan foto atau video intim seseorang secara online tanpa ijin sebagai upaya balas dendam dan bertujuan untuk merusak kehidupan korban di dunia nyata ataupun mempermalukan.
Meski perempuan sebagai korban bisa dikriminalisasi oleh pasal asusila di UU ITE, menurut Theresia para pelaku sebenarnya bisa diancam dengan UU ITE juga.
"Perilaku ini diatur UU ITE dalam pasal 45 ayat 4 tentang pemerasan dan/atau pengancaman dengan ancaman pidana atau denda," katanya.
Secara keseluruhan aduan KBGS yang masuk ke Komnas Perempuan pada 2020 ada 836, diantaranya:
Dari keseluruhan jenis KBGS, Theresia mengatakan kemungkinan juga foto/video pribadi yang didapatkan oleh para pelaku ini terkait juga dengan cyber hacking.
"Karena itu Komnas Perempuan berpandangan bahwa korban bisa mengalami lebih dari 1 jenis kekerasan, seperti bisa dilihat pada tabel jenis KBGS," katanya ketika dihubungi Minggu (14 Maret 2021).
Theresia mengatakan bahwa ada 11 kasus KBGS yang berada di tingkat Pengadilan Negeri, dan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polri 5 kasus. Selain itu, , Women and Child Crisis Center (WCC) dan LSM sebanyak 286 kasus.
"Jika di tingkat PN berarti sudah ada proses peradilan dan jika di tingkat UPPA berarti sudah ada yang melaporkan ke kepolisian," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Tim Kajian Revisi UU ITE, Sugeng Purnomo mengatakan bahwa pasal 27 ayat 1 UU ITE memang menjadi pasal yang disoroti para narasumber dalam diskusi .bersama tim Kajian Revisi UU ITE.
Terkait pasal 27 ayat 1, menurut Sugeng, pasal ini memang bisa mengenai siapapun yang mentransmisikan sesuatu "keasusilaan" dari satu pihak ke pihak lainnya melalui sistem elektronik.
Hal itu dikatakannya berdasarkan definisi "mentransmisikan" yang terdapat pada bagian penjelasan UU ITE. Sugeng mencontohkan, seperti suami istri yang sah melakukan hubungan apa pun, tetapi karena jarak memisahkan sehingga membuat video, lalu mentransmisikan "keasusilaan" dari ponsel yang satu ke ponsel yang lain, itu sudah masuk kategori terkena pasal.
"Kalau [video] itu tersebar luas mereka ini jadi korban. Korban dari penyebaran itu, karena dengan kejadian itu, akan berdampak kerugian pada dirinya, setidaknya kerugian immateril," katanya. (Lihat: 5 Simpulan Sementara Tim Kajian Revisi UU ITE).[]
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: