
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. | Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. | Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Cyberthreat.id – Wakil Menteri Hukum dan HAM, Wamenkumham, Edward Omar Sharif Hiariej, mengatakan jika RUU KUHP disahkan, tidak akan ada lagi pasal multitafsir dalam UU Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE).
Menurut Eddy, sapaan akrabnya, pasal multitafsir yang ada dalam UU ITE akan hilang jika RUU KUHP disahkan, karena ketentuan pidana yang ada dalam UU ITE sudah ada dalam RUU KUHP yang saat ini masuk ke Prolegnas 2021.
Selain itu, karena semua ketentuan pidana dalam UU ITE sudah masuk dalam KUHP, “Jadi, sudah tidak akan ada disparitas hukum dan diskriminasi,” ujar dia Guru Besar Hukum Universits Gadjah Mada dalam sedaring bertajuk “Revisi UU ITE”, Rabu (10 Maret 2021), dikutip dari akun YouTube Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Jumat (12 Maret).
Eddy juga tak menutup mata UU ITE yang ada saat ini mengandung pasal-pasal multitafsir karena tidak memenuhi unsur ekspresif verbis (perintah konstitusi).
Menurut Eddy, setidaknya ada tiga pasal yang dianggap multitafsir, yaitu pasal 27, 28, dan 29. Pasal-pasal tersebut dinilai multitafsir karena Bahasa yang digunakan sangat generalis, dan tidak menjelaskan lebih lanjut konteks adari apa yang dianggap melanggar pada pasal-pasal tersebut.
“Jadi, apakah benar pasal 27, 28, 29 itu multitafsir? Jawabannya ya benar. Karena hanya mengatakan muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, tapi tidak memenuhi unsur-unsur ekspresif verbis,” jelas Eddy
Eddy menjelaskan, misalnya, pada penjelasan pasal 27 UU ITE, dikatakan bahwa pencemaran nama baik yang dimaksud sebagaimana penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 310 dan 311 KUHP tentang fitnah. Jika merujuk KUHP (Pasal 310 sampai Pasal 320) tentang penghinaan itu ada 6 jenis: menista, menista secara tertulis, fitnah, penghinaan ringan, melapor secara memfitnah,dan menuduh secara memfitnah.
“Sehingga, pada Pasal 27 tentang penghinaan, tafsirannya sangat luas tetapi tiba-tiba dibatasi dalam penjelasan yang mengatakan penghinaan yang dimaksud itu adalah menista dalam pasal 310 dan memfitnah dalam pasal 311, padahal masih ada 4 jenis penghinaan lain yang tidak disinggung,” tambah Eddy.
Implementasi Pasal 27 ini tergantung pada intrepetasi penyelidik, kata dia, sehingga dianggap diskriminasi hukum dan disparitas hukum antara satu dan yang lain.
Terkait ujaran kebencian dalam Pasal 28 UU ITE yang juga dianggap bermasalah, menurut Eddy, jika merujuk KUHP, pasal ini berkaitan dengan kejahatan yang berdampak pada ketertiban umum, yang diatur dalam Pasal 154, 155, 156, 157 KUHP.
“Pasal ini ada yang sudah dibatalkan atau diubah dalam putusan MK. Celakanya yang diubah dalam KUHP, tapi putusan MK itu tidak mencabut Pasal 28 yang ada di UU ITE. Padahal, Pasal 28 itu merujuk ke KUHP. Jadi, hal-hal ini yang menjadi komplikasi dalam pelaksanaannya,” ujar Eddy.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: