IND | ENG
Wartawan Senior Bambang Harymurti: Pasal Karet di UU ITE Harus Dihapus, Rusak Kebebasan Pers

Wartawan senior Bambang Harymurti

Wartawan Senior Bambang Harymurti: Pasal Karet di UU ITE Harus Dihapus, Rusak Kebebasan Pers
Oktarina Paramitha Sandy Diposting : Sabtu, 20 Februari 2021 - 18:20 WIB

Cyberthreat.id –Wartawan Senior Bambang Harymurti menyarankan Dewan Pers untuk berkontribusi dalam revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan memperjuangkan penghapusan pasal-pasal karet dalam undang-undang itu yang dapat merusak ekosistem kebebasan pers.

Bambang mengatakan, saat ini banyak terjadi kasus pemenjaraan dan pembungkaman wartawan karena adanya pasal-pasal karet di UU ITE. Pasal-pasal multitafsir ini seringkali dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk merusak kebebasan pers di Indonesia.

“Sejak hadirnya UU ITE, Indonesia tidak pernah mencapai indeks kebebasan pers jika dibandingkan oleh negara negara lain,” kata Bambang dalam diskusi virtual yang diadakan Dewan Pers berjudul 'UU Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif kebebasan Berpendapat dan Berekspresi,' Sabtu (20 Februari 2021).

Menurut Bambang, beberapa yang perlu dihapus adalah pasal 27, 28, 29, dan 45 dari UU ITE karena menjadi sumber masalah bagi kemerdekaan pers. Selain itu, pasal-pasal tersebut juga telah dibahas dan dicantumkan pada-pasal di UU lainnya.

Hal ini, kata Bambang, perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya multitafsir dan duplikasi hukum. Terlebih, selama bertahun-tahun pasal karet dalam UU ITE yang paling banyak digunakan yaitu pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 3 soal ujaran kebencian.

“Dewan Pers harus memperjuangkan penghapusan pidana dari pasal pencemaran nama baik karena ini yang paling banyak digunakan untuk menjerat wartawan,” kata Bambang.

Karena itu, Bambang menyarankan agar Dewan Pers turut aktif berkontribusi dengan para pemangku kepentingan dan membuat tim kecil untuk menyusun draf revisi UU ITE agar revisi UU ITE yang baru tidak mencederai kemerdekaan pers.

“Dewan Pers harus ikut andil dalam revisi UU ITE untuk menjaga kemerdekaan pers di Indonesia," ujarnya.

Dewan Pers juga diminta untuk melakukan audiensi dengan Presiden Jokowi untuk menyampaikan usulan revisi UU ITE yang dihasilkan dalam Focus Group Discussion (FGD) Dewan Pers sebagai masukan menyikapi keinginan Presiden Jokowi merevisi UU ITE.

Tak hanya itu, Bambang juga menyarankan agar Dewan Pers membuat MoU dengan Menkominfo dan Kapolri agar dalam kasus ITE yang melibatkan kemerdekaan pers menggunakan penyidik sipil dari Kominfo, dan melakukan pelatihan bersama dengan penyidik Kominfo dan ahli Dewan Pers, serta pihak pengadilan (misalnya jaksa) untuk memberikan pemahaman terkait pasal-pasal di UU ITE.

“Hal ini dilakukan dengan tujuan agar insan pers tidak ada lagi yang menjadi korban dari pasal-pasal karet di UU ITE ini,” kata wartawan senior yang akrab disapa BHM itu.

Selain itu, Dewan Pers juga diminta untuk melakukan pendidikan dan sosialisasi soal pagar-pagar hukum yang perlu dipahami para wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, termasuk prosedur standar bila mengalami masalah hukum.

Diskusi yang diadakan Dewan Pers ini diisi oleh pakar hukum Refli Harun dan Edmon Makarim, Wartawan Senior Bambang Harymurti dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan. Sekitar 55 peserta hadir dalam diskusi untuk memberikan masukan dalam perbaikan UU ITE. Diskusi dimoderatori oleh Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.[]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dua Masalah dalam UU ITE Menurut Ketua AJI Abdul Manan  

Cyberthreat.id – Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan ada dua masalah utama terkait implementasi Undang-undang Informasii dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang selama ini menjadi momok yakni penafsiran pasal dan profesionalitas aparat penegak hukum.

Penafsiran pasal-pasal karet di UU ITE, kata Manan, yang terkait pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan penghinaan, seringkali digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat para jurnalis.

“Aparat penegak hukum harus paham bagaimana membuktikan unsur-unsur di dalam pasal itu dan bagaimana menafsirkan kata-kata di dalam pasal pasal 27 dan 28 yang selama ini dipakai untuk mempidanakan jurnalis,” ungkap Abdul dalam diskusi virtual yang diadakan Dewan Pers berjudul 'UU Informasi dan Transaksi Elektronik dari Perspektif Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi,' Sabtu (20 Februari 2021).

Masalah lainnya terkait profesionalisme dan netralitas polisi sebagai penegak hukum dalam mengimplementasikan UU ITE khususnya terkait pasal-pasal karet. Terlebih karena filter pertama dalam implementasi ini adalah polisi.

“Karena yang berhak menafsirkan pasal ini hanya polisi, tidak ada mekanisme lain yang bisa dilakukan, sehingga pengaruh polisi ini sangat penting,” katanya.

Manan juga mengatakan, pasal-pasal karet ini sering kali menjadi alat mengintimidasi jurnalis. Sebab, dilaporkan ke pihak kepolisian karena pasal pidana itu sudah menjadi teror tersendiri bagi jurnalis. Belum lagi proses yang panjang dan melelahkan, dapat menimbulkan tekanan psikologis tersendiri.

“Ini harus menjadi perhatian bagi semua, tidak hanya jurnalis, juga perusahaan media. Bagi perusahaan media, proses di polisi dan berperkara di pengadilan itu berongkos tidak murah. Bagi perusahaan, kasus hukum juga jadi catatan buruk yang itu punya dampak terhadap bisnis,” kata Manan yang juga wartawan Tempo.

Selama ini, Manan menambahkan, ada dua regulasi yang menjadi momok dan dipakai untuk menjerat jurnalis ke pengadilan dan penjara yaitu Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU ITE.

“Walaupun sebenarnya UU yang bisa diproses polisi bukan hanya dua ini, masih ada UU lain yang menyimpan pasal pidana, namun pasal-pasal di dua UU  ini yang berhasil memenjarakan wartawan,” ujarnya.

Manan mencontohkan, sejak 2003 hingga 2006, ada beberapa kasus yang menggunakan KUHP untuk menjerat jurnalis dengan tuduhan pencemaran nama baik. Salah satunya adalah kasus Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka Supratman yang  diadili karena dituduh mencemarkan nama baik Megawati Sukarnoputri yang saat itu menjabat sebagai presiden.

Pasal-pasal di KHUP yang bisa membuat wartawan dipenjara antara lainn Pasal 134 tentang penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500.

Kemudian, pasal 156a, terkait dengan penodaan agama dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun. Lalu, pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik.

Sementara itu, terkait UU ITE, biasanya terkait dengan pasal 27 ayat 3 tentang penghinaan, pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian, dan pasal 27 ayat 3 tentang kesusilaan.

Diskusi yang diadakan Dewan Pers ini diisi oleh pakar hukum Refli Harun dan Edmon Makarim, wartawan senior Bambang Harymurti dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Abdul Manan. Sekitar 55 peserta hadir dalam diskusi untuk memberikan masukan kepada pemerintah yang berencana merevisi UU ITE. Diskusi ini  dimoderatori oleh Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.[]

Editor: Yuswardi A. Suud

#uuite   #pasalkaret   #ujarankebencian   #ajiindonesia   #bambangharymurti

Share:




BACA JUGA
Perubahan Kedua atas UU ITE Sah! Menteri Budi Arie: Jamin Kepastian Hukum Ruang Digital
RUU Perubahan Kedua UU ITE, Menteri Budi Arie: 14 Pasal Eksisting Berubah dan 5 Pasal Tambahan
Komisi I DPR dan Pemerintah Sepakat RUU Perubahan Kedua UU ITE dibawa ke Sidang Paripurna
Berikut Tujuh Materi Rancangan Perubahan Kedua UU ITE
Divonis 9 Bulan Penjara soal Ujaran Kebencian, Akun Twitter Roy Suryo Pun Dimusnahkan