
Logo Telegram dan Signal | Foto: Freepik.com
Logo Telegram dan Signal | Foto: Freepik.com
Cyberthreat.id – Aplikasi pesanan daring berbasis cloud yang sedang naik daun, Telegram, memiliki perbedaan yang signifikan dengan pesaing utamanya, WhatsApp, khususnya dalam penyimpanan data obrolan pengguna.
Jika WhatsApp mengklaim tak menyimpan data tersebut di server, Telegram justru sebaliknya. Hal inilah yang dinilai oleh pakar keamanan siber PT Vaksincom yang berkantor pusat di Jakarta, Alfons Tanujaya sebagai “kekurangan” dari Telegram.
Alfons melihat hal itu memang bukan sebuah celah keamanan, tapi sebagai “titik lemah”. “Tetapi, jika suatu hari, itu bisa dijebol (peretas), semua data bisa terbuka,” kata Alfons dalam siaran bersama Nextren via Instagram, Kamis (28 Januari 2021).
Alfons juga mengaku heran dengan cara Telegram menyimpan semua data pengguna di obrolan biasa, berbeda data di “Obrolan Rahasia” yang tidak tersimpan di server.
Saat ini memang belum terbukti bahwa server mereka jebol. “Bisa jebol apa enggak? Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada yang tidak bisa jebol,” katanya.
Terlebih, ia menjelaskan, ke depan teknologi kian canggih, keamanan yang dipakai saat ini, belum tentu tepat dipakai di masa yang akan datang.
Ia mencontohkan enkripsi AES-256 bit. Saat ini enkripsi ini memang sangat sulit jika dianalogikan pakai kalkulator, bahkan pakai Excel bisa “hang” atau eror. Artinya, untuk saat ini enkripsi itu sulit dipecahkan, tapi jika 10 tahun lagi terdapat superkomputer, enkripsi itu mudahnya dipecahkan.
Enkripsi 256-bit inilah yang digunakan WhatsApp dan Signal, kata Alfons. Sementara, enkripsi yang digunakan Telegram yakni enkripsi in-house bernama MTProto. “Memang belum terbukti itu rentan, tapi belum terbukti itu aman, jadi kita tidak tahu,” katanya.
Jika ditanya terkait mana yang lebih aman antara WhatsApp, Signal, dan Telegram, Alfons menjawabnya bahwa ketiganya selevel.
Alfons pun mengajak agar semuanya tidak berpatokan pada satu platform saja. Ha lini agar tidak tercipta monopolistik yang justru bisa merugikan pengguna.
“Beberapa grup juga saya pindahkan ke Telegram, saya juga mulai di Signal. Jujur, saya to be realistic, tidak mudah untuk berpindah. Tapi, kita perlu berjuang, kalau bisa ada kekuatan penyeimbang, balance of power,” tutur Alfons.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: