
Sejumlah aplikasi media sosial. | Foto: Unsplash
Sejumlah aplikasi media sosial. | Foto: Unsplash
Cyberthreat.id – Awal Januari lalu, aplikasi media sosial Parler menjadi trending topic di Amerika Serikat. Bahkan, aplikasi ini sempat memuncaki toko aplikasi Apple.
Parler menjadi medium komunikasi para pendukung Presiden Donald Trump. Ketika penyerbuan di Gedung Parlemen AS (Capitol) pada 6 Januari, para pendukung memanfaatkan Parler sebab media sosial lain telah mencegah mereka.
Akibatnya, Apple dan Google terpaksa menendang Parler dari toko aplikasi selama pengembang mau berkomitmen memoderasi konten-konten yang mendukung kekerasan.
Amazon Web Services pun mendepak domain Parler dari layanan hostingnya. Namun, kini telah aktif kembali setelah mendapat dukungan dari perusahaan Rusia. (Baca: Parler, Situs Web Pendukung Trump Muncul Lagi, Didukung Perusahaan Rusia)
Kolaborasi ketiga raksasa perusahaan internet tersebut dinilai oleh Parler sebagai “serangan terkoordinasi”. Apple disamakan layaknya kekuasaan totaliter Partai Komunis China. (Baca: Diblokir Apple, Google, dan Amazon, CEO Parler: Ini Serangan Terkoordinasi Raksasa Teknologi)
Namun, apakah penutupan Parler adalah cukup mengatasi kekerasan?
Tindakan Amazon terhadap Parler membuat pengembang mengambil jalur hukum. Namun, gugatan Parler tertolak.
Pada 21 Januari lalu, hakim yang memimpin sidang gugatan menolak permintaan Parler agar Amazon.com memulihkan layanan hosting web untuk platformnya.
Hakim Distrik AS, Barbara Rothstein di Seattle, mengatakan Parler tidak mungkin membuktikan Amazon.com melanggar kontraknya atau melanggar undang-undang anti monopoli karena telah menangguhkan layanannya.
Mengamati fenomena Parler di ujung akhir masa pemerintahan Trump adalah menarik: bagaimana sebuah aplikasi dilawan oleh perusahaan aplikasi yang lebih besar.
Dan, ini yang juga disoroti oleh jurnalis Business Insider, Chris Stokel Walker. Dalam kolom opininya, Chris mengatakan, melarang Parler tidak cukup menghentikan serangan dari para pendukung Trump—mereka dijuluki “pendukung ekstremis sayap kanan”. Menurut laporan Reuters, ada sekitar 12 juta pendukung Trump yang menyukai Parler.
Chris menilai penghentian Parler tidak membuat “pekerjaan” selesai. Parler hanyalah tempat berkumpulnya para pendukung Trump, dan masih banyak radikalisasi terjadi di platform lainnya.
“Parler hanyalah salah satu bagian dari ekosistem radikal yang lebih besar,” tulis Chris seperti dikutip dari Business Insider, diakses Minggu (24 Januari 2021).
Pendapat Chris ada benarnya. Parler hanyalah dihuni oleh sekumpulan pendukung Trump.
Pendapat Chris didasari dari makalah analisis aplikasi Parler dari para peneliti di AS dan Inggris—salah satu penulisnya adalah Max Aliapoulios dari of New York University—yang mempelajari pola komunikasi 12 juta unggahan dan 12 juta pengguna Parler dari pendukung Trump.
Peneliti aplikasi yang oleh Chris itu mendapati para pendukung Trump memasang profil mereka dengan kata-kata dan frasa seperti “konservatif”, “tuhan”, “Trump”, “cinta”, “Kristen”, “patriot”, “pendukung Trump”, dan “bangga Amerika”.
Tagar yang digunakan oleh para pendukung itu, menurut analis, juga memakai bahasa rasis dan bahasa anti bangsa Yahudi serta sejumlah referensi teori konspirasi tak berdasar—mereka inilah yang dikenal sebagai komunitas QAnon.
Dari analisis itu, menurut Chris, temuan menarik adalah, ternyata, YouTube merupakan sumber informasi paling banyak digunakan oleh para pendukung Trump.
“Secara keseluruhan hampir 1,3 juta tautan dari situs web berbagai video terbesar di dunia itu ditemukan di Parler,” kata Chris.
YouTube, kata Chris, telah lama ditakuti sebagai “sumber radikalisasi”. Chris mengatakan pernah mewawancarai pengguna YouTube untuk sebuah dokumenter radio. Pengguna itu mengatakan bahwa “YouTube telah mengubahnya menjadi manusia penuh kebencian akibat algoritma situs mengarahkan ke konten tidak menyenangkan atau dirancang untuk memecah belah bukan menyatukan orang.”
Selain YouTube, dalam analisis itu yang dibaca oleh Chris, pengguna Parler juga menautkan informasi yang berasal dari Twitter. Sekitar 460.000 postingan yang ditautkan ke tweet ditemukan di Parler.
“Jika mereka melanjutkan analisis mereka setelah Desember 2020, tautan tersebut kemungkinan akan menyertakan yang dikirim Trump pada 6 Januari,” tuturnya.
Ada pun Facebook, Instagram, dan Imgur juga menjadi sumber informasi pengguna Parler dilihat dari tautan yang diarahkan ke platform itu bersama dengan sejumlah situs web lain.
Mestinya, “Seluruh platform media sosial patut disalahkan karena moderasiannya yang lemah, algoritmanya yang salah sasaran atau di luar kendali,” kata Chris.
Menurutnya, platform sosial memprioritaskan uang daripada moral lantaran penggunanya dibiarkan dengan sistem yang rusak, di mana rasisme diperlakukan sebagai masalah keseimbangan daripada benar atau salah dan fakta dapat dinegosiasikan.
Chris tidak memungkiri bahwa sekarang gerakan teknologi memang sedang diawasi oleh pemerintah di seluruh dunia sehingga kekhawatiran bahwa adanya penindasan terhadap hak asasi manusia dapat terjadi.
Chris mencontohkan seperti di Uganda, media sosial telah dilarang akibat pembalasan atas pemblokiran akun pro-pemerintah oleh Facebook.
“Sama seperti platform media sosial yang telah menekan orang-orang, seperti Trump untuk mengikuti aturan masyarakat atau mencari tempat lain untuk menyebarkan kebencian, maka kita harus menekan platform media sosial untuk menegakkan keamanan kita, sambil tidak melampaui batas mereka,”ujar Chris.
“Mereka membawa kita ke dalam kekacauan ini: sekarang kita perlu memastikan mereka bisa mengeluarkan kita.”[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: