IND | ENG
Validasi Produk Pers, Mungkinkah?

Nurlis Effendi

Validasi Produk Pers, Mungkinkah?
Nurlis E. Meuko Diposting : Kamis, 02 Juli 2020 - 16:42 WIB

VIDEO konferensi sangat tren sekarang. Pertemuan tatap muka, seperti belajar kuliah hingga seminar, kini menyusup dalam berbagai aplikasi perjumpaan digital. Perubahan perilaku itu menggeser kegiatan jurnalistik yang biasanya akrab di lapangan, kini cukup berada di depan laptop untuk menulis sebuah peristiwa. Terutama, peristiwa yang sifatnya seremonial.

Kebiasaan baru ini terjadi disebabkan tiga faktor, yaitu rekayasa manusia, alam, dan kombinasi keduanya. Manusia merancang teknologi yang membentuk perilaku baru, dan Covid-19 sebagai faktor alam membuat perubahan perilaku memakai masker serta membentuk budaya bersih. Kombinasi keduanya menendang manusia mempercepat perubahan perilaku baru, yaitu mendigitalkan hampir semua aspek kehidupan.

Sebagai contoh, proses sidang pengadilan yang saat ini mulai dilaksanakan secara digital sebagai akibat tendangan Covid-19 dan masuk gawang teknologi yang memang sudah dirancang lebih awal. Bahkan, Mahkamah Agung Indonesia sampai perlu latihan ke Australia, walaupun di Indonesia sebetulnya kemampuan seperti itu juga ada. Sementara, jurnalis menulis berita tanpa perlu ke pengadilan, cukup dari tempatnya masing-masing. Begitu juga, sejumlah peristiwa lain yang sekadar jumpa pers.

Bahkan, langkah media siber makin cepat meninggalkan keberadaan media-media tradisional, seperti media cetak, radio, dan televisi. Sebab, media-media tradisional tersebut semuanya sekaligus bisa masuk ke dalam platform media siber, yaitu teks, suara, dan video.

Problemnya, dunia digital ini juga memiliki sifat negatif berbasis teknologi. Di balik layar-layar siber,bercokol penjahat-penjahat yang juga khatam dengan dunia digital. Mereka mampu mencuri data, memanipulasinya, bahkan mengganti konten-konten di media siber secara serempak di seluruh media di Indonesia sesuai keinginan mereka.

Tentu saja, sangat memungkinkan munculnya aktor yang berkepentingan untuk mengacaukan suatu keadaan, katakanlah hendak merusak pasar saham atau merontokkan harga saham salah satu perusahaan. Bahkan, mampu mengacaukan informasi penting yang disampaikan pemerintah untuk kepentingan publik. Si aktor hanya butuh langkah sederhana dan murah, yaitu menggaet penjahat siber menyusupkan konten ke berbagai media, lalu memakai jasa buzzer memviralkannya.

Jika langkah itu digunakan untuk merusak reputasi media, lebih mudah lagi. Apalagi saat sekarang ini, kadar kepercayaan publik kepada media terlihat kurang begitu menggembirakan. Ini terjadi lantaran efek politik yang terlalu berlebihan menggunakan pers di setiap musim politik. Bertambah runyam dengan kehadiran puluhan ribu media siber abal-abal.

Persoalannya semakin kompleks dengan perilaku malas verifikasi fakta, berbagi rilis kelompok yang berkepentingan, copy paste berita, kepentingan politik, kepentingan pemilik modal, dan sejumlah perilaku lainnya yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah jurnalistik serta perilaku jurnalis yang normal. Akibatnya, sangat sulit memasukkan konten dari media siber sebagai rujukan dalam karya akademik dan ilmiah. Pada akhirnya, mengorbankan publik.

Di balik sejumlah persoalan mendasar di kalangan pers itu, terbentang jalan keluar yang juga tersajikan di depan mata. Misalnya,  merancang sistem validasi produk pers dan validasi teknologi media siber. Seluruh artikel di media siber tervalidasi dengan tanda tangan elektronik pemimpin redaksinya. Sementara, teknologi ketahanan siber medianya tervalidasi sehingga tak mudah disusupi penjahat siber.

Upaya validasi itu sangat mudah dilaksanakan, teknologinya bukan sesuatu yang aneh lagi. Bahkan, pemerintah pun sudah masuk ke wilayah validasi teknologi identitas tunggal yang terintegrasi secara universal di dunia digital bagi penggunanya. Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah menggandeng PrivyID sehingga memiliki otoritas untuk menerima pendaftaran, memverifikasi, serta menerbitkan sertifikat elektronik dan tanda tangan elektronik bagi warga negara Indonesia.

Seluruh tanda tangan elektronik yang dibuat dengan aplikasi PrivyID memiliki kekuatan dan akibat hukum yang sah selayaknya tanda tangan basah. Keamanan informasi data pengguna aplikasi PrivyID terjamin melalui penggunaan teknologi asymmetric cyrptography.

Jika sistem validasi itu sangat  diterapkan dalam kalangan pers, maka akan berefek pada kepercayaan publik. Tentu teknologi yang digunakan haruslah terverifikasi secara hukum dalam pelaksanaannya. Sangat sederhana untuk penerapannya, hanya membutuhkan keinginan yang sungguh-sungguh dari kalangan pers dengan dukungan Dewan Pers.[]

Pemimpin Redaksi Cyberthreat.id

#pers   #media   #siber   #validasi   #privyid

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Menkominfo Tantang Media Adopsi Perkembangan Teknologi
Jaga Kondusifitas, Menko Polhukam Imbau Media Cegah Sebar Hoaks
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
Dewan Pers: Perpres Publisher Rights Untungkan Semua Pihak