
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam acara sedaring bertajuk “11th Kompas100 CEO Forum”, Kamis (14 Januari 2021). | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id/Tenri Gobel
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam acara sedaring bertajuk “11th Kompas100 CEO Forum”, Kamis (14 Januari 2021). | Foto: Tangkapan layar Cyberthreat.id/Tenri Gobel
Cyberhtreat.id – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat sepanjang 2020 terdapat tiga aduan tertinggi yang diterima, antara lain terkait jasa keuangan (33,5 persen), e-commerce (12,7 persen), dan telekomunikasi (8,3 persen).
Terkait jasa keuangan, banyak keluhan konsumen terkait penyedia pinjaman online (peer-to-peer lending) ilegal. Masalah layanan fintech ilegal ini cukup signifikan selama dua tahun terakhir.
Keluhan yang paling sering diterima yaitu mengenai penyadapan data pribadi konsumen baik nomor telepon, foto dan segala macam.
"Saya pernah menerima pengaduan dari konsumen seorang perempuan. Fotonya yang berbaju seksi diancam disebarkan kalau dia tidak membayar utangnya. Nah, fintech ilegal ini sampai bisa nyadap foto dan video milik konsumen tanpa seizin konsumen," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam acara sedaring bertajuk “11th Kompas100 CEO Forum”, Kamis (14 Januari 2021).
Selain itu, keluhan soal teror pada konsumen juga cukup masif. Bahkan, Tulus mengatakan, dirinya pernah menerima teror sejenis.
"Ssaya juga baru nerima ancaman dari seseorang, nomor HP saya dimasukkan ke sana, sehingga saya diminta untuk menegur yang bersangkutan (orang yang pinjam uang di fintech, red)," kata Tulus.
Untuk pengaduan khusus fintech ilegal yang diterima YLKI mencapai 30 persen. Dengan melihat fenomena masih maraknya fintech ilegal, Tulus menyimpulkan tampaknya baik Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Kominfo RI, maupun S atgas Waspada Investasi (SWI) masih kedodoran menangani fintech ilegal ini.
"Sekali ditutup, nanti bermunculan cukup banyak dan itu berasal dari perusahaan-perusahaan di luar negeri. Bagaimana kita bisa menangkap kalau itu di luar negeri dan jumlahnya cukup masif," ujarnya.
Menyangkut keluhan e-commerce, Tulus mengatakan permasalahan belanja online ini paling tinggi sebesar 28,2 persen mengenai barang pesanan tidak diterima, barang pesanan tidak sesuai 15,3 persen, dan refund 15,3 persen.
Selanjutnya terkait masalah sistem transaksi 12,8 persen, penipuan 12,8 persen, sistem server 5,1 persen, pembajakan akun 2,5 persen, dan lain-lain sebesar 7,6 persen.
Sementara, pengaduan di sektor telekomunikasi itu, kata Tulus, paling banyak menyangkut jaringan internet sebanyak 32 persen. "Ini pengaduannya masalah diskoneksi atau jaringan naik-turun dan sebagainya," katanya.
Selain itu, ada pula pengaduan pemotongan pulsa sebesar 20 persen, sistem tagihan 14 persen, paket internet 6 persen, pemotongan kuota 6 persen, sistem transaksi 6 persen, jaringan instalasi 4 persen, dan lain-lain sebesar10 persen.
Dari adanya aduan-aduan itu, Tulus meminta agar operator-operator perlu mengembangkan infrastruktur digital merata di seluruh Indonesia.
Tulus menambahkan perlu juga meningkatkan literasi digital dan indeks keberdayaan konsumen sehingga era digital ini masyarakat juga berdaya, bukan hanya platform digitalnya saja yang berdaya.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: