
Aplikasi Muslim Pro | Foto: Pinterest
Aplikasi Muslim Pro | Foto: Pinterest
Cyberthreat.id – Pemerintah Singapura sedang menyelidiki kabar dugaan bahwa data lokasi pengguna aplikasi Muslim Pro telah dijual kepada militer Amerika Serikat.
Aplikasi yang diunduh lebih dari 98,5 juta kali di seluruh dunia itu dimiliki oleh Bitsmedia, perusahaan yang berkantor pusat di Singapura.
Bitsmedia selama tiga hari terakhir di situs webnya membuat pernyataan yang membantah tudingan itu.
Kabar dugaan penjualan itu pertama kali diberitakan oleh Motherboard, portal teknologi milik Vice Media asal AS. Laporan Motherboard menyebutkan, data lokasi pengguna Muslim Pro dijual oleh pihak ketiga yang berpartner dengan Bitsmedia.
Pihak ketiga itu bernama X-Mode, agregator data AS, yang diduga menjual datanya kepada rekanan militer AS, seperti detail model ponsel, nama jaringan wi-fi, dan timpestamp (informasi waktu).
Bitsmedia menolak tudingan itu dan menyatakan selama ini berbagi data dengan mitranya dalam bentuk data anonim. “Kabar itu sepenuhnya tidak benar,” ujar perusahaan di situs webnya.
Komisi Perlindungan Data Pribadi (PDPC), seperti dikutip dari ZDNet, portal berita cybersecurity, Jumat (20 November 2020), mengatakan, sedang mengonfirmasi kabar tersebut kepada Bitsmedia.
“Kami mengingatkan pengguna untuk juga memperhatikan jenis izin dan data pribadi yang diberikan serta bagaimana itu digunakan (oleh pengembanng, red). Jika ragu, pengguna tidak boleh mengunduh atau memakai aplikasi apa pun,” kata Komisi kepada media lokal.
Didirikan pada 2009, Bitsmedia yang berbasis di Singapura juga memiliki kantor di Malaysia dan Indonesia.
Aplikasi Muslim Pro-nya menyediakan waktu sholat, arah kiblat, Al Quran digital, dan doa-doa sehari-hari yang telah diunduh oleh pengguna di 200 negara, menurut situs webnya.
Bitsmedia mengatakan, selama ini menjalankan bisnisnya sesuai dengan undang-undang dan peraturan privasi data global, seperti Peraturan Perlindungan Data Umum di Uni Eropa dan UU Privasi Konsumen California (CCPA).
Pengumpulan, pemrosesan dan penggunaan informasi dari pengguna, kata Bitsmedia, untuk “meningkatkan layanan dan memafsilitasi pekerjaan litbang aplikasi.”
Dengan cara seperti itu, perusahaan mengatakan, bisa memahami perilaku pengguna. “Data lokasi digunakan untuk penghitungan waktu shalat dan fitur perencanaan, serta untuk meningkatkan pengalaman pengguna secara keseluruhan,” kata perusahaan.
Berbagi data anonim
Bitsmedia juga bersikeras tidak membagikan informasi pribadi yang sensitif, seperti nama, nomor telepon, dan email.
"Setiap data yang dibagikan dengan mitra dianonimkan, yang berarti bahwa data kami tidak dikaitkan dengan individu tertentu," kata Bitsmedia.
"Kami menerapkan pengaturan keamanan standar industri dan langkah-langkah perlindungan serta memilih mitra teknologi terkemuka untuk menjaga data kami tetap aman dan terlindungi di infrastruktur cloud kami. Kami juga terbuka dan transparan tentang informasi pribadi yang kami kumpulkan, simpan, dan proses."
Meski membantah klaim dugaan penjualan data lokasi pengguna, Bitsmedia mengatakan juga telah memutuskan semua hubungan dengan mitra datanya, termasuk X-Mode, "berlaku segera".
Bitsmedia mengaku berkolaborasi dengan "mitra teknologi terpilih" untuk meningkatkan kualitas aplikasinya dan berbagi data dengan mitranya untuk "tujuan umum seperti periklanan", yang dicatat sebagai sumber pendapatan utamanya.
Pihak ketiga yang diajak bekerja sama, seperti jaringan media sosial dan perusahaan analitik data; berbagi data tersebut juga telah mendapatkan persetujuan dari penggunanya.
Bitsmedia juga menekankan, fitur-fitur Muslim Pro tersedia tanpa pengguna harus masuk ke aplikasi.
Sanksi
Jika diketahui telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDPA) Singapura, Bitsmedia dapat menghadapi sanksi finansial hingga 10 persen dari pendapatan tahunannya atau SG$ 1 juta (US$ 735.490), mana saja yang lebih tinggi.
Singapura baru bulan ini memperbarui undang-undang perlindungan data untuk memungkinkan bisnis lokal menggunakan data konsumen tanpa persetujuan sebelumnya untuk beberapa tujuan, seperti peningkatan bisnis dan penelitian. Amandemen tersebut juga memungkinkan denda keuangan yang lebih berat; di atas batas sebelumnya sebesar SG$ 1 juta.
Dalam pidatonya membahas amandemen UU, Menteri Komunikasi dan Informasi Singapura S. Iswaran mengatakan data adalah aset ekonomi utama dalam ekonomi digital karena memberikan wawasan berharga yang menginformasikan bisnis dan menghasilkan efisiensi.
Selain itu, data juga akan memberdayakan inovasi dan meningkatkan produk, dan menjadi sumber daya penting untuk teknologi yang muncul seperti kecerdasan buatan (AI) yang memiliki potensi transformatif, kata Iswaran.
PDPC tahun lalu menyelidiki 185 kasus yang melibatkan pelanggaran data dan mengeluarkan 58 keputusan. Komisi memerintahkan 39 organisasi untuk membayar SG $ 1,7 juta sebagai denda, termasuk denda tertinggi SG$ 750.000 dan SG$ 250.000, yang masing-masing diberikan kepada Sistem Informasi Kesehatan Terpadu dan Layanan Kesehatan Singapura.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: