
Ilustrasi | Foto: Unsplash
Ilustrasi | Foto: Unsplash
Cyberthreat.id – Penyedia layanan internet didesak untuk bersikap transparan kepada konsumen terkait dengan pemakaian data internet. Ini lantaran skema batas pemakaian wajar (fair usage policy) internet yang diterapkan operator dinilai tidak adil.
Selama ini tidak ada transparansi soal harga dan kualitas layanannya pun tidak stabil, ujar Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN).
“Konsumen memiliki hak untuk mendapatkan transparansi penghitungan volume data yang digunakannya,” ujar Kepala BKPN Rizal E. Halim ketika berbincang dengan Cyberthreat.id, Kamis (19 November 2020).
Menurut Rizal, lembaganya tengah mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk membuat regulasi transparansi pemakaian data internet.
FUP dapat diartikan sebagai batas kouta yang diberikan kepada pengguna layanan internet untuk mendapatkan akses internet kecepatan penuh. Jika pengguna sudah melewati batas pemakaian tersebut, mereka tetap bisa mengakses internet, hanya saja kecepatan internet akan dikurangi oleh penyedia layanan atau provider. Layanan ini biasanya untuk internet rumahan atau personal.
Rizal mengatakan, salah satu sasus pembatasan FUP yang tidak transparan sempat ramai di media sosial pada Mei 2020. Kala itu, salah satu operator mengatakan, FUP yang diberikan ke pengguna sebesar 500 GB, nyatanya dibatasi hanya 350 GB. Selain itu, provider juga memberlakukan penurunan kecepatan koneksi internet hingga 90 persen.
"Harus ditampilkan dengan jelas, seperti apa pemakaian pengguna, kecepatan internetnya berapa, tidak bisa hanya ditampilkan sisa kuota pemakaian seperti apa," ujar Rizal.
Menurut Rizal, transparansi dan keakuratan perhitungan volume data yang digunakan pengguna telekomunikasi, termasuk juga kecepatan internet yang dijanjikan, merupakan kewajiban pelaku usaha dan hak konsumen yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen.
Tak hanya soal transparansi perhitungan layanan data atau internet di industri telekomunikasi, Rizal juga menyoroti permasalahan terkait perkembangan teknologi berbasis Internet Protocol (IP).
Menurut dia, masih adanya pembebanan biaya tambahan atau tarif terpisah untuk layanan suara (voice) dan SMS yang seharusnya sudah menjadi bagian dari layanan berbasis IP yang dibayar konsumen saat berlangganan layanan data internet.
Menurut Rizal, jika permasalahan tersebut tidak terkelola dengan baik, akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan pasar karena distorsi dan disrupsi hak-hak konsumen.
"Kami berharap regulasinya bisa cepat diselesaikan oleh BRTI dan Kemenkominfo, karena mereka sudah mulai bahas sejak kami rekomendasikan beberapa waktu lalu," ujar dia.
Penyelesaian permasalahan di sektor ini diharapkan dapat meningkatkan inklusi pemanfaatan layanan telekomunikasi guna mendorong ekonomi digital nasional.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: