
Peta Sudan. | Foto: iStock
Peta Sudan. | Foto: iStock
Nairobi, Cyberthreat.id – Internet di Sudan kini telah bisa diakses kembali setelah selama tiga pekan dimatikan oleh militer Sudan, tapi hanya untuk satu orang saja: Abdel-Adheem Hassan, seorang pengacara.
Diwawancarai BBC, Minggu (23 Juni 2019), Hassan mengatakan, baru saja memenangkan gugatan terhadap operator telekomunikasi Zain Sudan atas pemadaman internet yang diperintahkan penguasa militer Sudan.
Sayangnya, kemenangan itu hanya dapat dirasakan dirinya sendiri lantaran dirinya saat menggugat itu dalam kapasitas pribadi.
Hassan mengatakan, dirinya adalah satu-satunya warga sipil di Sudan yang bisa mengakses internet tanpa menggunakan peretasan yang rumit.
Rencana, Selasa (25 Juni 2019) waktu setempat, dia akan kembali melakukan gugatan untuk memenangkan hak bagi warga Sudan lainnya. "Semoga satu juta orang akan mendapatkan akses internet pada akhir pekan ini," kata dia.
Sebelumnmya, PBB mendesak agar pemerintah Sudan mengizinkan pemantau hak asasi manusia masuk ke negara tersebut dan segera mengakhiri penutupan akses internet.
Kepemimpinan Presiden Omar al-Bashir sejak April lalu telah dicabut oleh militer seiring protes berbulan-bulan yang berujung rusuh. Militer kemudian mengambil alih kekuasaan pada 11 April di bawah tanggung jawab tujuh anggota Dewan Militer Transisi Sudan (TMC) yang dipimpin Letjen Abdel Fattah Abdelrahman Burhan.
Namun, penguasa militer mendapat reaksi keras dari masyarakat internasional lantaran menghalau unjuk rasa dengan kekerasan pada 3 Juni lalu di Khartoum yang menewaskan sekitar 30 orang.
Human Rights Watch (HRW) mengkritik keputusan penguasa Militer Sudan yang memutus akses internet sebagai pelanggaran HAM. HRW meminta agar pemerintah segera mencabut pemadaman tersebut, demikian tulis organisasi nonpemerintah yang berkantor pusat di New York, AS ini dalam situs webnya.
Menurut HRW, akses internet penting dikembalikan lagi untuk komunikasi darurat, termasuk informasi penyedia layanan kesehatan dan informasi lain di kala krisis seperti ini.
"Jika Dewan Militer Transisi benar-benar berniat untuk mengembalikan kedamaian [...] harus mengembalikan pemadaman yang membahayakan ini. Pemadaman ini jelas menekan hak-hak rakyat yang diklaim Dewan Militer ingin berdialog," ujuar Priyanka Motaparthy, pejabat direktur kedaruratan HRW.
Gangguan internet seluler mulai dirasakan sejak 3 Juni lalu ketika pasukan militer melakukan serangan yang berujung kematian banyak orang di Khartoum. Serangan itu, menurut HRW, terjadi seiring meningkatnya negosiasi antaran Dewan Militer dengan kelompok-kelompok oposisi mengenai pembentukan pemerintahan transisi yang dipimpin warga sipil.
Sebelum pemadaman internet, pemerintah Sudah lebih dulu memblokir akses media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp sejak Desember 2018 hingga April 2019.
Juru bicara Dewan Militer Transisi, Shamseddin Kabashy, kepada Al-Jazeera, mengatakan, pemadaman internet dilakukan dalam waktu terbatas sesuai kebijakan pemerintah.
Pemadaman internet di Sudan menambah deretan panjang kejadian serupa di negara-negara Afrika seperti di Kamerun, Ethiopia, Gabon, Republik Demokratik Kongo, dan Zimbabwe. Internet dipadamkan lantaran adanya pemberontakan oleh penduduk setempat, demikian seperti dikutip dari Allafrica.com.
Share: