IND | ENG
Mengapa Korban Kejahatan Siber Enggan Melapor ke Aparat Hukum?

Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja K | Foto: Cyberthreat.id/Faisal Hafis

Mengapa Korban Kejahatan Siber Enggan Melapor ke Aparat Hukum?
Tenri Gobel Diposting : Selasa, 11 Agustus 2020 - 16:35 WIB

Cyberthreat.id – Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja K, mengatakan, masyarakat Indonesia  cenderung enggan melapor ke aparat hukum ketika terjadi kejahatan siber karena budaya malu yang tinggi.

“Masyarakat kita budaya malunya masih cukup kuat, mereka tidak mau ketahuan ditipu. Intinya masih ada faktor malunya sehingga enggan melaporkan walaupun mungkin dia menderita miliaran. Ini seringkali terjadi,” kata Ardi di Jakarta, Selasa (11 Agustus 2020).

Padahal, perlu diketahui, kejahatan digital termasuk kategori delik aduan sehingga harus ada pelaporan disertai bukti-bukti permulaan yang cukup untuk diproses hukum.

“Jika tidak melaporkan, maka tidak ada kasus yang ditindaklanjuti, itu seringkali terjadi,” ujar Ardi dalam sedaring bertajuk “Kedaulatan Negara dalam Transfer Data Pribadi ke Luar Indonesia” yang dihelat oleh Siberkreasi.

Hadir sebagai pembicara Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel A. Pangerapan, Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin, dan artis Melaney Ricardo.

Menurut Ardi, kejahatan siber yang diungkap dan diadili oleh penegak hukum itu di Indonesia sudah banyak.

Data statistik Patroli Siber Mabes Polri menunjukkan antara Januari hingga Juli 2020 jumlah laporan kejahatan siber yang diterima 2.259 kasus.

Dari jumlah itu, kasus tertinggi terkait penyebaran konten provokatif sebanyak 1.048 kasus. Lalu, diikuti penipuan daring 649 kasus, pornografi 208 kasus, akses ilegal 138 kasus, manipulasi data 71 kasus, pencurian identitas 39 kasus, dan perjudian 32 kasus.

Kasus lain, intersepsi ilegal sebanyak 24 kasus, peretasan sistem elektronik 18 kasus, defacement attack sembilan kasus, dan gangguan sistem empat kasus.

“Kejahatan digital bukan perkara mudah yang bisa kita lihat secara fisik dengan indera kita. Jadi, memang perlu pembuktian secara ilmiah,” ujar Ardi.

Ia mencontohkan, kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica kumala Wongso pada 6 Januari 2016. Kala itu, menurut Ardi, penyidik berhasil melakukan pembuktian kuat berdasarkan analisis dan uji forensik digital.

Ada pula kasus SIM swapping yang menimpa wartawan senior Ilham Bintang. Menurut Ardi, kasus penipuan pengambilalihan kartu seluler ini bisa terungkap juga karena peran forensik digital.

“Jejak [kejahatan siber] itu tidak bisa dihapus, itu dibuktikan dengan pemahaman, pengalaman, dan metodologi yang sangat disiplin dalam ilmu penyidikan,” ujar dia.

Dengan pembuktian melalui forensik digital, kata dia, masyarakat tidak perlu takut untuk melaporkan jika mengalami kejahatan siber.

“Jangan takut buat masyarakat yang mengalami kerugian akibat kejahatan digital. Kalau memang merasa dirugikan baik itu secara finansial atau apa pun itu, silahkan melapor. Pasti akan ditindaklanjuti oleh penyidik,” kata Ardi.[]

Redaktur: Andi Nugroho

#kejahatansiber   #ancamansiber   #serangansiber   #peretas   #pelanggarandata   #keamanansiber   #ArdiSutedjaK   #penjahatsiber

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
SiCat: Inovasi Alat Keamanan Siber Open Source untuk Perlindungan Optimal
BSSN Selenggarakan Workshop Tanggap Insiden Siber Sektor Keuangan, Perdagangan dan Pariwisata
Penjahat Siber Persenjatai Alat SSH-Snake Sumber Terbuka untuk Serangan Jaringan