
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengirimkan surat terbuka untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Dikirim pada Sabtu (1 Agustus 2020), Retno mengkritik sejumlah pernyataan Nadiem terkait pembelajaran online jarak jauh yang tak kunjung selesai.
Retno yang pernah berpengalaman menjadi Guru selama 24 tahun menilai Menteri Nadiem yang dikenal sebagai menteri milenial justru terkesan tak berdaya mengatasi berbagai kendala yang muncul dalam pembelajaran jarak jauh (PJJ).
"Tidak terlihat langkah konkrit Kemendikbud mengatasi berbagai kendala PJJ, padahal hasil survey berbagai pihak terhadap PJJ fase pertama seharusnya dapat dijadikan dasar menyelesaikan masalah," demikian antara lain poin yang disorot Retno.
Namun, kata Retno, tidak ada terobosan apapun selama berbulan-bulan, sehingga permasalahan pelaksanaan PJJ fase kedua masih menemui masalah-masalah yang sama.
Data survei PJJ fase pertama pada April 2020 yang dirilis KPAI dengan 1.700 responden siswa menunjukkan sebanyak 76,7 persen responden siswa tidak senang belajar dari rumah.
Retno menambahkan, PJJ merupakan hal baru bagi anak, orangtua murid ataupun sekolah. Dengan kata lain, Indonesia tidak memiliki bekal yang cukup untuk menjalaninya.
Survei KPAI menemukan PJJ fase pertama berjalan tidak efektif. Sebanyak 77,8 persen responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah. Rinciannya: 37,1 persen siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stress, 42 persen siswa kesulitan daring karena orang tua mereka tidak mampu membelikan kuota internet dan sebesar 15,6 persen siswa tidak mempunyai perangkat, baik itu handphone, komputer/PC atau laptop.
"Mas Menteri, ada jutaan anak Indonesia yang saat ini terisolasi di rumah mengalami frustasi karena tidak terlayani PJJ. Berdasarkan survei KPAI, PJJ menunjukkan kesenjangan yang lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik."
"Anak-anak dari kelas ekonomi menengah ke atas terlayani PJJ secara daring karena kelompok ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk belajar daring. Namun, anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah tidak terlayani dalam PJJ karena kelompok ini tidak memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk PJJ secara daring," ujar Retno.
Pelaksanaan PJJ secara daring juga bias antara kota dan desa serta bias wilayah Jawa dengan luar Jawa. Retno memaparkan, 54 persen dari 608.000 anak Papua tidak terlayani PJJ daring karena tidak memiliki semuanya termasuk listrik.
Kondisi tersebut membuat anak-anak menjadi kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah. Apalagi, dalam beberapa kasus, anak-anak yang tidak bisa mengikuti PJJ maupun ujian secara daring dianggap tidak mengumpulkan tugas. Walhasil, nilainya tidak menenuhi syarat naik kelas.
Menurut Retno, Nadiem memiliki kewenangan sekaligus tanggungjawab besar bagi pelayanan dan pemenuhan hak atas pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak Indonesia.
"Oleh karena itu, dengan kewenangan besar yang Anda miliki, seharusnya Anda dapat meringankan beban dan derita anak-anak Indonesia dalam PJJ fase kedua. Untuk itu, saya mendorong batalkan program organisasi penggerak (POP) dan alihkan anggaran POP untuk mengatasi kendala PJJ yang sudah berlangsung hampir 5 bulan," pungkas Retno.
Anggaran tersebut, sambung Retno, bisa digunakan untuk menggratiskan internet para murid, bantuan perangkat/gadget bagi anak-anak miskin dan para guru honorer dan membuat kurikulum adaptif yang dapat meringankan guru, siswa dan para orangtua murid.[]
Editor: Yuswardi A. Suud
Share: