IND | ENG
Wacana Twitter Berbayar: Mampukah Redam Konten Hoaks di Medsos?

Twitter | Foto: Unsplash

Wacana Twitter Berbayar: Mampukah Redam Konten Hoaks di Medsos?
Tenri Gobel Diposting : Senin, 27 Juli 2020 - 20:01 WIB

Cyberthreat.id – CEO Twitter Jack Dorsey pekan lalu mengatakan, perusahaannya berencana menerapkan sistem berbayar untuk platformnya setelah pendapatannya menurun selama kuartal pertama 2020.

Sebagian warganet dan pengguna Twitter yang diwawancarai Cyberthreat.id, Senin (27 Juli 2020), menanggapi beragam soal wacana itu. Ada yang setuju dan tidak setuju jika Twitter berbayar.

Seorang pengguna mengatakan, andaikata platform berbayar, dirinya berharap akun-akun bodong dan buzzer politik di Twitter bisa hilang. Begitu juga dengan informasi-informasi sampah (spam). (Baca: Wacana Twitter Berbayar, Warganet Berharap Tak Ada Lagi Akun Bodong dan Buzzer Politik)

Menanggapi wacana itu, Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, memandang platform berbayar tak memiliki korelasi terhadap berkurangnya informasi spam atau meredam konten hoaks di media sosial.

“Kita juga bisa dengan menggunakan identitas palsu sepanjang membayar,” kata dia saat dihubungi Cyberthreat.id, Senin.

Oleh karena itu, menurut dia, meski Twitter nanti dibuat berbayar, platform tidak secara otomatis bisa meredam akun-akun palsu yang selama ini berseliweran di platform. Karena orientasi Twitter dalam wacananya kali ini, selama pengguna membayar, mereka masih bisa menggunakan platform.

“Jadi, tidak ada korelasi dengan menghilangkan tipu-menipu atau meredamnya hoaks,” Heru menambahkan.

Menurut dia, langkah yang dipilih Twitter tersebut sebatas untuk memperoleh keuntungan. “Berbayar itu biasanya hanya kepentingan platform agar mendapat uang,” kata Heru.

Meski mengejar keuntungan semata, menurut Heru, platform umumnya memberikan manfaat lain bagi penggunanya. “Pengguna bisa mendapat layanan berbeda dan ada fitur lebih daripada versi gratis,” ujarnya.

Namun, Heru masih menyangsingkan seperti apa model layanan berbayar dari Twitter. “Apakah untuk semua pengguna atau tidak,” ujar dia.

Yang jelas, menurut dia, dampak dari sebuah layanan berbayar adalah bisa membuat pengguna tidak menggunakan platform lagi. "Pengguna bisa lari atau uninstall," ujarnya.

Diberitakan oleh Independent, diakses Senin (27 Juli 2020), Dorsey mengatakan, perusahaan kemungkinan uji coba layanan berbayar tahun ini meski masih menghadapi beberapa tantangan. "Kami ingin memastikan setiap jalur pendapatan baru melengkapi bisnis periklanan kami," kata Dorsey.

Pengumuman ini muncul ketika Twitter sedang berusaha meningkatkan pendapatannya, karena pendapatan iklan perusahaan di kuartal pertama tak signifikan dan diperkirakan menurun tahun ini, menurut laporan Wall Street Journal.

Pendapatan terbesar Twitter berasal dari iklan, yakni 87 persen. Pada 2019, pendapatan tahunannya adalah US$3,46 miliar, tetapi perusahaan hanya melaporkan laba untuk pertama kalinya pada 2018.

Wacana Dorsey tersebut muncul setelah insiden keamanan terbesar dalam sejarah Twitter ketika pembajakan massal akun-akun tokoh terkenal dan terverifikasi, seperti Elon Musk, Bill Gates, Joe Biden, Barack Obama, Kanye West, dan Jeff Bezos.

"Kami merasa sedih tentang insiden keamanan ini. Kami terus mengamankan sistem kami dan saat ini kami terus bekerja dengan perusahaan eksternal dan penegakan hukum," kata Dorsey.[]

Redaktur: Andi Nugroho

#twitter   #mediasosial   #buzzer   #spam   #internet   #ancamansiber   #keamanansiber   #serangansiber   #jackdorsey

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Kebisingan Ruang Digital, 92% Ulah Buzzer
Menteri Budi Arie Apresiasi Kolaborasi Perkuat Transformasi Digital Pemerintahan
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif
SiCat: Inovasi Alat Keamanan Siber Open Source untuk Perlindungan Optimal