
Twitter | Foto: Freepik.com
Twitter | Foto: Freepik.com
Cyberthreat.id – Pekan lalu, CEO Twitter, Jack Dorsey mengatakan, berencana membuat platformnya berbayar yang diharapkannya dapat menambah pendapatan perusahaan.
Diberitakan oleh Independent, diakses Senin (27 Juli 2020), Dorsey mengatakan, perusahaan kemungkinan uji coba layanan berbayar tahun ini meski masih menghadapi beberapa tantangan. "Kami ingin memastikan setiap jalur pendapatan baru melengkapi bisnis periklanan kami," kata Dorsey.
Pengumuman ini muncul ketika Twitter sedang berusaha meningkatkan pendapatannya, karena pendapatan iklan perusahaan di kuartal pertama tak signifikan dan diperkirakan menurun tahun ini, menurut laporan Wall Street Journal.
Pendapatan terbesar Twitter berasal dari iklan, yakni 87 persen. Pada 2019, pendapatan tahunannya adalah US$3,46 miliar, tetapi perusahaan hanya melaporkan laba untuk pertama kalinya pada 2018.
Wacana Dorsey tersebut muncul setelah insiden keamanan terbesar dalam sejarah Twitter ketika pembajakan massal akun-akun tokoh terkenal dan terverifikasi, seperti Elon Musk, Bill Gates, Joe Biden, Barack Obama, Kanye West, dan Jeff Bezos.
"Kami merasa sedih tentang insiden keamanan ini. Kami terus mengamankan sistem kami dan saat ini kami terus bekerja dengan perusahaan eksternal dan penegakan hukum," kata Dorsey.
Lantas, bagaimana tanggapan pengguna Twitter terkait wacana CEO Twitter memberlakukan layanan berlangganan berbayar ini? Berikut tanggapan beberapa pengguna Twitter terkait wacana ini, yang dihubungi Cyberthreat.id, Senin ( 27 Juli 2020):
Tyas (23) – jurnalis
Tyas yang menggunakan Twitter selama 10 tahun beranggapan wacana Twitter menerapkan langganan berbayar dinilainya belum jelas. “Kalau buat saya sih, karena belum dijelasin juga apa fitur yang didapatkan, buat akun yang berbayar sebenarnya tidak begitu ngaruh sih,” ujar dia.
Akan tetapi, jika memang wacana itu akan diterapkan, dirinya akan mempertimbangkannya untuk membayar karena Twitter menjadi salah satu sumber informasinya, bahkan dijadikan sumber inspirasinya dalam menulis.
“Kalau bayarannya masih affordable seharga Spotify mungkin masih saya pertimbangkan buat langganan. Karena sejauh ini Twitter paling nyaman, jadi sumber info tercepat,” kata Tyas. Namun, ia berharap Twitter tetap gratis.
Marifa (23) – mahasiswa
Bagi Marifa, Twitter adalah tempat menyalurkan karya cerita pendek fiksinya tentang dunia drama Korea Selatan. Karya-karyanya mendapatkan respons yang baik dari pengikutnya. Maka, ia tak setuju kalau Twitter akan menerapkan sistem berbayar. Hal itu bisa menghambat tulisannya dibaca banyak orang.
“Sebenarnya kalau saya sih tidak masalah karena bisa bayar, tapi pembaca-pembaca setia saya yang sudah mengikuti cerita pendek yang saya buat gimana?” ujar dia.
“Jadi, untuk penulis seperti saya bakal kekurangan feedback. Karena tidak semua orang mampu bayar untuk berlangganan kan. Sedih sih kalau kayak gitu,” kata Marifa. Ia berharap agar Twitter gratis tetap ada meski dengan fitur terbatas.
Ahmad (23) – peneliti dan penulis di lembaga survei
Ahmad mendukung wacana CEO Twitter yang akan menerapkan sistem berbayar. Alasannya, Twitter bakal lebih aman dari spam, dari akun-akun bodong yang tidak jelas.
“Ya dukung-dukung saja sih. Soalnya memang sarana hiburan saya selama ini cuma di Twitter, kayaknya lebih dari 3-4 jam per hari di Twitter, dan cukup terganggu dengan adanya spam atau bahkan buzzer politik yang berkeliaran selama ini,” ujar Ahmad.
Namun, jika memang berbayar, ia berharap tidak mahal biaya berlangganannya. “Kalau kemahalan kayaknya mending enggak pakai. Karena salah satu [tujuan pakai Twitter untuk] melihat kabar teman-teman, selain di Instagram,” kata Ahmad.
Imad (23) – content writer
Imad tidak setuju Twitter menyediakan layanan berbayar. Selama menggunakan Twitter sejak 2009, belum ada konten atau fitur dari platform ini yang dibilan eksklusif. Kecuali, kata Imad, Twitter menawarkan fitur baru.
“Selama ini kan yang berbayar kayak Spotify, YouTube, Netflix itu karena mereka punya konsep dan konten sendiri, bersinggungan dengan hak cipta juga. Sementara belum kebayang untuk Twitter kenapa harus berbayar,” ujar Imad.
Pangga (24) – creative director
Pangga ragu soal manfaat yang akan diberikan oleh Twitter jika menerapkan model langganan berbayar. “Saya sih tidak bakal bayar karena menurutku bayar tidak bayar yang akan ditampilkan kayaknya sama saja. Karena ini bukan kayak Spotify atau Apple Music, saat kita bayar dan mendengarkan musik tanpa harus ada iklan dan bisa mendengar tanpa harus ada koneksi internet,” ujar Pangga.
Menurut dia, Twitter lebih baik membuat dua versi berbayar dan gratis. Jadi, pengguna yang butuh privasi, yang hanya mencari berita atau informasi-informasi baru, tetap bisa memakainya.
Alfonsus (27) – customer relationship management specialist
Menurut Alfonsus, wacana Twitter berbayar ini tidak masalah. Harapannya, hal itu justru memfilter orang-orang atau mempersonalisasi orang-orang yang dapat muncul di Twitter.
“Soalnya makin ke sini selalu ada saja yang berantem tiap hari dan jadi kayak keruh aja, mungkin kalau bayar jadi terfilter, masa ada orang yang niat bayar cuma buat berantem di Twitter?” kata Alfonsus.
“Saya sih mending kontennya berubah, lebih insightful dibanding kayak sekarang hate speech dan ribut-ribut gitu.”
Alia (17) – pelajar
Alia tidak masalah jika Twitter berbayar asalkan ada manfaat yang dirasakannya. Ia mencontohkan ketika dirinya menggunakan layanan berbayar di beberapa platform digital.
“Kalau ternyata digunakan secara gratis jadi mengganggu kayak Spotify yang iklannya banyak dan tidak bisa di-skip, mungkin saya bakal bayar. Tapi, kalau kayak YouTube, masih ada iklannya, mungkin saya bakal tetap gunakan secara gratis,” ujar Alia.
Untuk itu, ia berharap tetap ada versi gratis. Jika pun wajib berbayar dengan harga yang terjangkau, Alia mengaku masih tetap akan menggunakan Twitter.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: