
Ilustrasi | Foto: Enterprise Talk
Ilustrasi | Foto: Enterprise Talk
Cyberthreat.id - Survei terbaru Palo Alto Network menyatakan mayoritas perusahaan atau lebih dari 80 persen menyatakan sudah meningkatkan anggaran keamanan siber (cybersecurity). Survei bertajuk "State of Cybersecurity in ASEAN" dilaksanakan pada 6-15 Februari 2020, melibatkan 400 responden dengan masing-masing 100 responden berasal dari Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura.
"Bahwa 4 dari 5 perusahaan atau sekitar 84 persen menyatakan telah meningkatkan anggaran mereka untuk sektor keamanan siber-nya," demikian laporan survei tersebut.
Sebanyak 44 persen perusahaan yang disurvei telah mendedikasikan lebih dari setengah anggaran IT-nya untuk keamanan siber sebagai bentuk respons terhadap meningkatnya volume dan kecanggihan serangan siber.
Khusus di Indonesia, 76 persen melaporkan peranti-peranti dasar, seperti anti malware dan antivirus merupakan solusi paling populer dikalangan perusahaan di Tanah Air. Menurut survei tersebut, perilaku ini didorong oleh sangat kuatnya persepsi yang terbangun di Indonesia tentang bahayanya malware.
92 persen perusahaan juga telah meninjau kebijakan keamanan siber dan prosedur operasi standar mereka, setidaknya sekali dalam setahun. Adapun, 83 persen perusahaan juga memeriksa komputer-komputer yang digunakan setidaknya sekali dalam sebulan untuk memastikan software maupun firmware pada komputer itu masih terbarukan/up to date.
"Sangat antusias melihat makin tingginya kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap keamanan siber. Mereka makin sadar pentingnya mencegah dan menggagalkan serangan siber yang berpotensi mengganggu bisnis," kata Country Manager, Indonesia, Palo Alto Networks, Surung Sinamo dalam diskusi virtual, Rabu (15 Juli 2020).
Namun, ujar Surung, sehubungan dengan terjadinya pandemi Covid-19, perusahaan perlu menavigasi risiko-risiko baru yang ditemukan akibat penerapan skema kerja jarak jauh atau WFH.
Fakta lain dari survei ini juga mengungkapkan sisi berbeda dari perusahaan yang disurvei, yaitu hanya 54 persen perusahaan yakin dan percaya diri dengan keamanan siber-nya.
Kurangnya kepercayaan ini menandakan masih adanya permasalahan lain yang harus diperhatikan oleh perusahaan, terutama faktor sumber daya manusia (SDM). Pasalnya, 2 dari 3 tantangan utama keamanan siber berkaitan dengan faktor manusianya atau SDM, termasuk kesadaran karyawan (54 persen) dan pemahaman dari manajemen (40 persen).
"Meskipun mereka sadar akan arti pentingnya penerapan cyber hygiene di lingkungan siber dasar, namun edukasi tentang keamanan siber saja belumlah mencukupi."
Menurut Surung, penerapan berbagai teknologi yang dipadukan dengan SDM perlu digenjot lagi.
"Perangkat-perangkat untuk keamanan siber yang mendayagunakan otomatisasi dan Machine Learning telah menjadi instrumen untuk melakukan tindakan preventif serta mempercepat respons terhadap ancaman-ancaman siber, baik yang known (diketahui) maupun unknown (tidak diketahui), yang dihadapi bisnis setiap hari," ujarnya.
Penting sekali untuk menerapkan langkah preventif bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia, yang notabene merupakan populasi terbesar pengguna internet di dunia dengan lanskap e-commerce dan pembayaran digital yang berkembang pesat. []
Redaktur: Arif Rahman
Share: