
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Cyberthreat.id – Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Sinta Dewi Rosadi, mengemukakan bahwa pasal hak untuk dilupakan datanya (right to be forgotten) di RUU Perlindungan Data Pribadi memang perlu pengkajian lebih lanjut.
Sebab, kata dia, tidak semua informasi data seseorang bisa dihapus atau dilupakan begitu saja. Akan tetapi, bukan berarti malah menghilangkan aturan itu karena hak penghapusan data adalah hak individu yang harus ada.
“Kalau ada data yang tidak akurat, kita minta itu dihapus. Itu hak asasi manusia yang bersifat universal,” kata dia ketika dihubungi Cyberthreat.id, Rabu (8 Juli 2020).
Ia menyampaikan pandangan itu ketika ditanya tentang usulan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang meminta data rekam medis menjadi pengecualian. (Baca: Hak Penghapusan Data di RUU PDP, PERSI Minta Data Rekam Medis Dikecualikan)
Sinta setuju dengan usulan bahwa data rekam medis dikecualikan agar tidak bisa dihapus seluruhnya.
“Informasi-informasi yang berguna, itu tidak bisa. Misalnya, rekam medis kan berguna untuk diagnosis. Saya sudah diperiksa, lima tahun kemudian, amit-amit ternyata kena [sakit] lagi, kan harus ada rekam jejaknya,” ujar Sinta.
Untuk itu, data rekam medis memang tidak semudah itu menghapusnya, perlu dibuat pengaturan lagi. Intinya, kata dia, perlu banyak masukan untuk pembahasan RUU PDP saat ini agar kelak bisa berjalan efektif dan berdayaguna.
Sinta menjelaskan, hak untuk dilupakan itu berumla dari hukum perlindungan data pribadi di Uni Eropa ketika Google dituntut oleh penggunanya.
“Jadi, ada orang yang merasa bahwa informasi yang di Google itu sudah tidak tepat lagi sekarang. Mungkin dulu melakukan sesuatu yang salah, tapi itu sudah selesai, sudah melalui hukuman, dan sebagainya. Nah, informasi itu tidak sesuai dengan kenyataan sekarang, minta dihapus gitu,” ujar dia.
Jka melihat kasus Google itu, memang isinya adalah data yang sangat pribadi sehingga diminta untuk dihapuskan.
Menurut dia, bukan suatu masalah dalam pasal hak penghapusan itu ada informasi yang dikecualikan. Makanya, perlu diatur parameter, harus ada standar data apa yang bisa dihapus. “Karena kalau ada data yang dikecualikan, nanti semua minta dikecualikan,” ujar dia.
Jika tidak ada petunjuk penerapannya, ia khawatir justru akan timbul masalah di kemudian hari. “Sepanjang data itu untuk kepentingan publik, tentu itu tidak bisa dihapus,” ujar Sinta.
Sinta pun memberikan contoh terkait informasi pejabat publik. Mereka tidak bisa meminta penghapusan data rekam jejaknya layaknya permintaan orang biasa. Sebab, pejabat publik punya kewajiban untuk mempublikasikan dan tidak boleh merahasiaakan informasi terkait pekerjaannya.
“Contoh seseorang ingin menjadi bupati, pernah diperiksa oleh KPK: apakah dia bisa dihapuskan jejaknya? Enggak bisa. Karena pejabat publik itu ekspektasi privasinya itu beda dengan kita orang awam. Dia punya kewajiban untuk menceritakan track record berkaitan dengan profesional pekerjaannya. Jadi, seorang pejabat publik itu tidak bisa seenaknya meminta untuk dihapus [rekam jejaknya],” kata Sinta.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: