
Maria Ressa (tengah) dan Reynaldo Santos (kanan). | Foto: Rappler
Maria Ressa (tengah) dan Reynaldo Santos (kanan). | Foto: Rappler
Cyberthreat.id – Pemimpin Redaksi Rappler Maria Ressa divonis bersalah oleh Pengadilan Manila atas tuduhan cyber libel, Senin (15 Juni 2020).
Selain Maria, jurnalis Rappler Reynaldo Santos juga menghadapi hal yang sama. Vonis ini dinilai membungkam kebebasan pers di Filipina.
Mereka terancam hukuman enam bulan hingga enam tahun penjara, tapi tidak ditahan. Mereka juga diberi kesempatan untuk mengajukan banding.
Maria dan Santos menjadi jurnalis pertama yang dihukum dengan pasal cyber libel sejak Undang-Undang Kejahatan Siber diberlakukan di Filipina. Pasal cyber libel dinilai menjadi ancaman bagi jurnalis Filipina dalam bekerja.
Cyber libel merupakan bentuk pencemaran nama baik yang dilakukan di dunia maya atau internet. Menurut Legal Line, istilah ini biasanya digunakan ketika seseorang mengunggah atau mengirim email artikel yang berisi informasi “yang tidak benar dan merusak nama baik” orang lain di internet.
Menuru laporan Rappler, Hakim Rainelda Estacio Montesa, mengizinkan keduanya untuk memberikan jaminan dan tidak ditahan selama menunggu proses banding ke Mahkamah agung. Namun, keduanya diminta untuk membayar denda sebesar 200.000 peso Filipina atau sekitar Rp 56,3 juta untu kerugian imaterial dan 200.000 peso lagi sebagai peringatan. Ganti rugi itu diberikan kepada pengusaha Wilfredo Keng.
Tak hanya itu, pengadilan telah membebaskan Rappler Incorporated dan menganggapnya tidak memiliki tanggung jawab dalam kasus gugatan yang diajukan oleh pengusaha asal Filipina, Wilfredo Keng yang sebelumnya mengajukan ganti rugi sebesar 50 juta peso Filipina.
Kasus in berawal dari artikel yang diterbitkan oleh Rappler tentang hubungan mantan kepala pengadilan Renato Corona dan pengusaha, sala satunya Wilfredo Keng. Artikel tersebut mengutip laporan dari intelijen yang menghubungkan Keng dengan kasus perdagangan manusia dan penyeludupan narkoba.
Pengadilan menekankan kesalahan Rappler adalah tidak melakukan verifikasi informasi tersebut kepada Keng dan tidak mempublikasikan informasi dari sisi Keng. Keng kemudian mengajukan gugatan atas cyber libel yang dilakukan oleh Rappler, yaitu lima tahun setelah artikel tersebut diterbitkan.
Amal Clooney, Kepala Tim Kuasa Hukum Maria, mengatakan, putusan itu menjadi penghinaan atas aturan hukum dan menjadi pukulan besar terhadap pers di Filipina.
“Keyakinan ini merupakan penghinaan terhadap aturan hukum, peringatan keras kepada pers, dan pukulan terhadap demokrasi di Filipina. Saya berharap pengadilan banding akan meluruskan kasus ini," ujar Clooney seperti dikutip dari Tech Crunch.
Setelah menerima vonis, Maria mengatakan, akan terus berjuang untuk kebebasan pers di Filipina. Terlebih kebebasan pers merupakan dasar dari setiap hak yang dimiliki oleh warga negara Filipina.
“Apakah kita akan kehilangan kebebasan pers? Misi Rappler tidak akan berubah. Kami berada di jurang. Jika kita jatuh, kita bukan lagi negara demokrasi," ungkap Ressa dalam konferensi pers.
Rappler menjadi salah satu media di Filipina yang kerap mengkritisi kebijakan Presiden Duterte, terutama dalam kebijakannya dalam perang melawan narkoba yang diduga telah menyebabkan puluhan ribu pembunuhan di luar proses pengadilan.
Bahkan, Menurut The Guardian, Presiden Duterte telah menganggap Rappler sebagai penjaja berua palsu dan menghasut beberapa pihak untuk menentang kebijakannya.
Selain tuduhan cyber libel, Maria juga menghadapi gugatan lain: dua kasus pidana yang menuduh kepemilikan asing ilegal di perusahaannya, dan investigasi atas pembayaran pajak. Berbagai tuduhan yang dibuat tersebut Maria terancam dihukum penjara 100 tahun.
Direktur Alliance for Journalists Freedom, Peter Greste, mengatakan keputusan untuk menghukum Maria dan Santos santos sangat merusak kebebasan pers. Bahkan, Persatuan Wartawan Nasional Filipina memandang putusan tersebut pada dasarnya “membunuh kebebasan berbicara dan pers”.
Kebebasan media di Filipina dinilai sangat parah di bawah kepemimpinan Presiden Duterte. Filipina saat ini berada di peringkat 136 dari 180 negara pada Indeks Kebebasan Pers Dunia Reporters Without Borders (RSF).
Wartawan di sana telah menjadi sasaran pelecehan peradilan, kampanye online yang dilakukan oleh pasukan buzzer pro-Duterte (buzzerp), dan kekerasan.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: