IND | ENG
KPU Akui Belum Siap Jika Pilkada Pakai Sistem E-Voting

Alat verifikasi KTP-el yang diciptakan BPPT dan dipakai dalam pemungutan suara secara e-voting di Kantor BPPT, Jakarta, Jumat (26/4/2019). Cyberthreat.id | Okta Paramitha Sandy

KPU Akui Belum Siap Jika Pilkada Pakai Sistem E-Voting
Tenri Gobel, Oktarina Paramitha Sandy Diposting : Kamis, 11 Juni 2020 - 15:34 WIB

Jakarta, Cyberthreat.id – Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia menyatakan untuk saat ini pemilihan kepala daerah (pilkada) belum bisa menerapkan sistem pemungutan suara dengan perangkat elektronik alias e-voting.

“KPU siap enggak untuk e-voting? Untuk pemilihan yang sekarang, KPU belum mempersiapkan e-voting,” ujar Ketua KPU RI, Arief Budiman dalam diskusi virtual yang digelar LIPI di Jakarta, Kamis (11 Juni 2020)

Jika memaksakan diri untuk menggelar pilkada dengan sistem e-voting, Arief menyatakan KPU benar-benar tidak siap. “Saya tidak mau berandai-andai,” ujar dia.

Sejauh ini, menurut dia, yang paling siap dilakukan oleh KPU adalah rekapitulasi elektronik (rekap-el). Masyarakat tetap memberikan suara secara manual, tapi hasilnya yang ditulis di formulir C1 dipindai, lalu dkirimkan ke pusat data untuk direkap secara elektronik.

“Itu sudah mengurangi aktivitas mulai rekap di kecamatan dan kabupaten. Menghemat banyak hal, lebih ramah lingkungan karena tidak perlu lagi menggunakan banyak kertas,” ujar Arief.


Berita Terkait:


Menyangkut rekap-el, KPU menargetkan diri bisa diterapkan pada Pemilu 2024. Namun, untuk pilkada tahun ini, Arief berharap beberapa daerah yang siap akan terapkan rekap-el.

Arief menambahkan, sebetulnya beberapa kali KPU telah melakukan simulasi rekap-el. Pada April lalu, simulasi rekap-el harus ditunda karena adanya pandemi virus corona (Covid-19).

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga hadir sebagai pembicara, justru mendorong agar pilkada tahun ini bisa memakai sistem e-voting.

Ia mengusulkan e-voting demi mengurangi kerumunan dan mencegah virus corona menyebar. Ia juga meyakini infrastruktur yang ada sudah siap mendukung e-voting. “E-voting itu cuma butuh satu saja: kepercayaan,” ujar Ganjar.

Menurut Ganjar, sistem e-voting sangat bisa dilakukan dan yang perlu dipastikan adalah masing-masing harus menyepakati betul soal kepercayaan. “Percaya pada sistem yang kita bangun,” ujar dia.

Ahli teknologi informasi, menurut dia, harus bisa menyiapkan, mengaudit alatnya, membangun sistem yang transparan karena jangan sampai terjadi dalam film Hacking Democracy—sebuah film dokumenter produksi 2006 yang disutradarai Russel Michaels dan Simon Ardizzone.

Ketika sistem yang dipakai tidak transparan dan andal, kata Ganjar, seseorang yang tadinya memilih A, berubah menjadi B. Untuk itu, para ahli teknologi dapat menggelar seminar virtual membahas penerapan e-voting tersebut.

Ganjar mengakui penerapan e-voting ini memang cukup rumit dan bisa tidak seragam. Namun, sebenarnya dari perangkat perundang-undangannya sudah siap. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kata dia, sebenarnya sudah mengakomodasi.

“Tentu KPU harus menyesuaikan beberapa hal, termasuk dukungan di daerah. Misal, e-voting di daerah-daerah yang sinyalnya tidak ada masalah. Menggunakan dua cara boleh, kan? Tinggal sekarang kita simulasikan mana yang memungkinkan untuk dilaksanakan,” ujar Ganjar.


Berita Terkait:


Pada April 2019, Cyberthreat.id pernah menurunkan topik e-voting ini. Saat itu, Kepala Program e-Pemilu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Andrari Grahitandaru, menilai Indonesia sudah mampu melakukan pemilihan umum dengan cara e-voting.

Ia mengatakan Indonesia sudah sangat siap termasuk dari segi peralatan yang akan digunakan. "Alat untuk e-voting dikembangkan industri milik BUMN yaitu PT Inti yang sudah dididik untuk menerapkan sistem e-voting pilkades," kata dia.

Menurut dia, pengembangan alat untuk penerapan e-voting sesuai dengan asas pemilu di Indonesia termasuk standar internasional yang digunakan. Selain itu, e-voting jauh lebih hemat dari segi anggaran dan pembiayaan.

BPPT, kata Andrari, belajar dari India yang sudah lebih dulu menerapkan sistem pemilu berbasis elektronik. Teknologi e-voting Indonesia juga sudah disesuaikan dengan ekosistem penyelenggaraan Pemilu.

"Secara teknologi, ekosistem penyelenggaraan, seperti halnya dengan penyelenggaraan Pemilu elektronik di India. Best practice kami di sana sudah terpenuhi," ujarnya.

Di Indonesia, penggunaan sistem e-voting baru dilakukan di tingkat pilkades. Sejak 2013 hingga 2018, sebanyak 981 pilkades yang tersebar di 11 provinsi memakai sistem e-voting. BPPT menyatakan, selama penyelenggaraan itu tak menemui masalah berarti.

BPPT menjamin bahwa alat e-voting buatannya aman. Antisipasi soal manipulasi data pemungutan suara juga telah dilakukan sejak dini.

Dalam demo perangkat yang disaksikan Cyberthreat.id, pada awal Mei 2019, Direktur Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi BPPT, Michael Andreas Purwoadi, mengatakan, keamanan perangkat telah diminimalisasi dengan audit dan sesuai standardisasi internasional tentang teknologi informasi (ISO 10026).

Ia mencontohkan, sebelum menginstal peranti lunak ke dalam perangkat, pihaknya telah mengaudit perangkat untuk disesuaikan dengan standar mutu kepemiluan serta berasaskan luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil).

Pertanyaan yang sering muncul soal kekhawatiran perangkat e-voting: bagaimana memverifikasi bahwa suara itu merupakan hasil pilihan pemilih, bukan orang lain?

Purwoadi mengatakan, untuk verifkasi data pemilu ada tiga tahap yang dilakukan petugas.

Pertama, sebelum melakukan pemilihan, pemilih akan diverifikasi sesuai dengan daftar pemilih tetap (DPT). Verifikasi tahap ini memakai KTP elektronik dan sidik jari.

Setelah itu, keluarlah data si pemilih. Jadi, KTP palsu atau pemilih ganda tidak bakal terjadi karena BPPT menggunakan data identitas tunggal (single identity).

Bagaimana dengan orang yang tak tercantum dalam DPT atau pemilih tambahan? Petugas akan mengecek KTP-el dan mencocokkan NIK pemilih sebagai verifikasi.

Kedua, ada data rekaman dalam log file di TPS masing-masing. Menurut Purwoadi, setelah pemungutan suara selesai dan hasil formulir C1 tercetak, petugas KPPS langsung memotret dengan kamera tanpa harus mengambil gambar dari galeri, gambar tersebut langsung dikirim ke situs web KPU.

Sebagai tanda formulir itu telah terverifikasi dan dijamin validitasnya, petugas akan mencantumkan tanda tangan digital pada formulir tersebut. “Data yang dikirimkan tersebut bisa di jadikan bukti hukum jika terjadi sengketa dan dapat dibuktikan kebenarannya karena jelas siapa pengirim dan dikirim dari mana,” kata dia.

Ketiga, struk audit. Struk audit keluar setelah pemilih selesai memilih. Struk ini bisa digunakan untuk memverifikasi jumlah suara yang masuk dan bisa dibuktikan kebenarannya karena memiliki kode berupa barcode untuk verifikasi.

“Sehingga struk audit ini tidak bisa dimanipulasi maupun diubah,” kata dia. Struk audit ini akan dimasukkan ke dalam kotak audit dan dijadikan bukti hukum serta alat verifikasi jika terjadi sengketa,” kata dia.

Terkait dengan pelaksanaan pilkades selama ini, Purwoadi mengatakan, selama ini tidak ada kendala dalam perangkat saat proses input data. Hanya, persoalan yang sering menjadi masalah adalah DPT.

Untuk mengatasi hal itu, kata dia, BPPT menciptakan teknologi e-verification agar tidak terjadi lagi permasalahan pada e-voting.

“Kami sudah menciptakan teknologi e-voting ini sesuai dengan ekosistem pemilu. Mulai e-verification sampai dengan sengketa pemilu. Kekhawatiran soal peretasan maupun manipulasi data itu sudah kami eliminasi,” kata dia.[]

Redaktur: Andi Nugroho

#e-voting   #pilkada   #pemilu   #kpu   #ganjarpranowo   #hacker   #ancamansiber   #serangansiber   #keamanansiber

Share:




BACA JUGA
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Jaga Kondusifitas, Menko Polhukam Imbau Media Cegah Sebar Hoaks
Menteri Budi Arie Apresiasi Kolaborasi Perkuat Transformasi Digital Pemerintahan
Microsoft Ungkap Aktivitas Peretas Rusia Midnight Blizzard
Indonesia Dorong Terapkan Tata Kelola AI yang Adil dan Inklusif