
Telegram. Foto: Engadget | Shutterstock | Twin Design
Telegram. Foto: Engadget | Shutterstock | Twin Design
Jakarta, Cyberthreat.id – Telegram, layanan pesan instan yang dikembangkan pengusaha asal Rusia, Pavel Durov, sempat dilaporkan tak bisa diakses Rabu (12/6/2019).
“Saat ini kami mengalami serangan DDoS sangat kuat, pengguna Telegram di Amerika dan sejumlah pengguna di beberapa negara mungkin akan mengalami masalah koneksi,” demikian pernyataan Telegram di akun Twitter-nya, Rabu malam WIB.
DDoS atau Distributed Denial of Service Attack adalah serangan siber dengan cara membanjiri lalu lintas jaringan internet pada server. Tujuannya, agar lalu lintas server menjadi lambat berjalan. Serangan itu biasanya menggunakan botnet.
Berita Terkait:
Di situs web DownDetector, sejumlah negara yang terkena imbas pemadaman daerah Amerika Latin, seperti Brasil, Argentina, Uruguay, Puerto Riko, dan Paraguay. Di Eropa, warganet yang mengalami gangguan di Italia, Prancis, Portugal, Moskow, London, Ukraina, dan Jerman.
Di Asia, dampak yang paling terasa adalah di Hong Kong. Namun, di situs web DownDetector, laporan kondisi down hingga Kamis siang telah menurun, belum ada kabar terbaru: apakah di Hong Kong, Telegram telah bisa diakses atau belum.
Kebetulan saat itu juga sedang terjadi unjuk rasa besar-besaran menentang RUU Ekstradisi yang berujung ricuh. Selama ini Hong Kong hanya menjalin perjanjian ekstradisi dengan 20 negara, termasuk AS dan Inggris, tapi tidak dengan China daratan. RUU yang dibahas parlemen Hong Kong untuk memungkinkan dibuka perjanjian dengan China.
Menurut laporan TechCrunch, untuk koordinasi dan konsolidasi, salah satu layanan pesan instan yang dipakai pengunjuk rasa adalah Telegram. Aplikasi ini dipilih karena dinilai aman dan telah terenkripsi, “Karena mereka berupaya menghindari tindakan pengawasan oleh pejabat pemerintah,” tulis TechCrunch.
Ini bukan pertama kalinya, Telegram mengalami serangan DDoS. Pada 2015, serangan serupa juga terjadi sehingga melumpuhkan pengguna di Asia Tenggara, Oseania, Australia, dan sebagian India. Setahun sebelumnya, akhir September 2015, Telegram juga diserang besar-besaran DDoS setelah skandal privasi di Korea Selatan seiring penggunaan aplikasi di negara itu naik tajam.
Ada teori konspiratif yang muncul di publik: mengapa serangan itu terjadi ketika sedang memanas di China? Pada Juli 2015, saat itu China juga sedang menghadapi kritikan tajam lantaran menangkap para pengacara yang menyuarakan hak asasi manusia. Ternyata, mereka berkomunikasi satu sama lain dengan Telegram, lapor People’s Daily. Saat itu, Telegram pun diblokir tak bisa diakses di Beijing, Shenzen, Inner Mongolia, Provinsi Heilongjiang, dan Provinsi Yunnan.
Share: