
Kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM dengan Blibli
Kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM dengan Blibli
Jakarta, Cyberthreat.id - Wartawan senior Farid Gaban disomasi politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Muannas Alaidid. Gara-garanya, Farid Gaban memprotes kerjasama Kementerian Koperasi dan UKM yang dipimpin Teten Masduki dengan Blibli.com yang membentuk KUMKM Hub. Lewat kerjasama ini, Blibli yang dimiliki Grup Djarum menyediakan laman khusus untuk mempromosikan produk UKM.
Namun, di mata Farid Gaban, kerjasama itu meninggalkan sejumlah pertanyaan.
"Mengapa Blibli yang terpilih? Mengapa bukan Tokopedia, Bukalapak atau Shopee? Mengapa bukan Gudang Garam atau Sampoerna Retail? Apakah karena Blibli menang tender?," tulis Farid Gaban.
Farid bilang, dia tak memungkiri manfaat toko online yang memungkinkan orang bertransaksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
"Tapi, mengapa Kementerian tidak mengembangkan toko online sendiri? Apakah tidak punya biaya? Bukankah membuat aplikasi toko online itu sangat mudah dan murah, bahkan bisa gratis menggunakan platform open source?," tambah Farid.
Politisi PSI Muannas Alaidid yang juga seorang pengacara menilai kritik Farid terhadap keputusan Teten menjalin kerjasama dengan Blibli.com itu masuk kategori meyebarkan berita bohong.
Muannas mengacu pada sebuah cuitan yang dilontarkan Farid Gaban di Twitter.
"Rakyat bantu rakyat; penguasa bantu pengusaha. Gimana, nih, kang Teten Masduki? How low can you go?,” tulis Farid
Hal itu, menurut Muannas, melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Pasal itu, kata Muannas Alaidid, bukan delik aduan, sehingga dengan atau tanpa laporan darinya aparat bisa memproses hukum Farid Gaban.
"Karena indikasi hasutan cuitan itu hari ini menjadi gaduh dan dikomentari macam-macam," kata Muannas.
Pada 25 Mei, Muannas mengatakan memberi waktu maksimal 3 hari bagi Farid untuk mencabut pernyataannya di Twitter.
Namun, Farid tak lantas surut karena ancaman itu. Di laman Facebook-nya, Farid mengatakan telah mempersiapkan diri seandainya polisi datang mengetuk pintu rumahnya.
Di laman Facebook-nya, mantan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo itu menuliskan lebih rinci poin-poin yang menjadi keberatannya seperti dikutip di bawah ini.
SAYA, PAK TETEN DAN SOMASI. Lebaran ini saya mendapat kado istimewa: surat ancaman (somasi) dari Muannas Alaidid, pengacara/politisi PSI (Partai Solidaritas Indonesia) dan Ketua Umum Perhimpunan Cyber Indonesia.
Muannas mengancam melaporkan saya ke polisi jika tidak mencabut kritik saya di Twitter tentang kerjasama Menteri Koperasi-UKM Teten Masduki dengan Blibli (Djarum Group).
Saya menolak mencabut kritik itu. Pertama, kritik terhadap kebijakan publik adalah hak setiap warga negara terhadap pemerintahnya (dalam hal ini menteri). Kedua, saya punya dasar untuk menyebut kerjasama tadi akan merugikan publik dan kepentingan negara kita.
Kritik saya berkenaan dengan peristiwa pada 20 Mei lalu, ketika Menteri Teten Masduki dan CEO Blibli Kusumo Martanto meluncurkan kerjasama membentuk "KUKM HUB" di toko online yang dimiliki oleh raksasa bisnis Grup Djarum itu.
Pertanyaan yang segera muncul: mengapa Blibli? Mengapa bukan Tokopedia, Bukalapak atau Shopee? Mengapa bukan Gudang Garam atau Sampoerna Retail? Apakah karena Blibli menang tender?
Tapi, saya mau melewatkan pertanyaan itu, karena bagi saya tidak penting. Kerjasama itu tidak layak dilakukan dengan toko online atau jaringan ritel (eceran) swasta yang manapun.
Menteri Teten mengatakan, kerjasama itu akan mendorong pengembangan UKM di Indonesia, yakni ketika yang besar membantu yang kecil. Apalagi di masa pandemi sekarang, ketika banyak usaha hanya bisa mengandalkan perdagangan online.
Saya tak memungkiri manfaat toko online. Aplikasi digital via mobile phone memudahkan kita bertransaksi jual-beli, tak dibatasi ruang maupun waktu.
Tapi, mengapa Kementerian tidak mengembangkan toko online sendiri? Apakah tidak punya biaya? Bukankah membuat aplikasi toko online itu sangat mudah dan murah, bahkan bisa gratis menggunakan platform open source?
Sejak 2007, Kementerian sudah punya Gedung Smesco (Small and Medium Enterprises and Cooperatives) yang megah dan mewah di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Gedung itu dilengkapi dengan ruang pamer dan pasar produk UKM.
Kenapa tidak meningkatkan marketplace yang sudah ada itu (lengkap dengan database yang dimiliki) ke level digital?
Ketimbang dengan swasta, Kementerian juga semestinya bisa menjalin sinergi dengan dua badan usaha milik negara, sekaligus menghemat dana publik: dengan PT Sarinah yang menyediakan pasar produk UKM lokal, serta PT Telkom yang menyediakan platfom toko online Blanja.com (dengan syarat Telkom mendepak partner multi-nasional Ebay dulu).
Membangun digital-marketplace besar tentu saja tidak cukup hanya dengan menyediakan aplikasi. Ini juga memerlukan manajemen dan sistem pengelolaan. Jika Kementerian lagi-lagi mengeluh tak punya sumberdaya, kita perlu mempertanyakan kemana dan untuk apa anggaran serta pegawai yang banyak selama ini dikerahkan.
Menurut saya, Kementerian perlu memiliki marketplace UKM sendiri. Mengapa? Agar bisa mengendalikan tujuan untuk benar-benar mengembangkan dan memberdayakan UKM lokal. Tujuan seperti itu tidak bisa diharapkan pada toko online swasta.
Toko online memang berjasa memperbesar omset dan transaksi jual-beli. Masalahnya: barang dari manakah yang dijual?
Miftahul Choiri, pejabat Bank Indonesia, belum lama lalu menyebut bahwa mayoritas barang yang dijual di toko online adalah barang impor. Dengan kata lain, toko online menguntungkan produsen asing ketimbang lokal; serta memperparah defisit perdagangan nasional kita.
Bhima Yudhistira, pengamat ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), memperkuat pernyataan Choiri. "Sekitar 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Produk lokal hanya 7 persen," kata Yudhistira.
Toko-toko online berkontribusi meningkatkan impor barang konsumsi, yang pada 2018, misalnya, naik 22 persen.
Kita tahu, toko-toko online Indonesia belakangan ini disuntik dana investasi asing besar-besaran untuk menjadi menjadi unicorn/decacorn. Investor asing bisa masuk ke perdagangan ritel online berkat kebijakan liberal Pemerintahan Jokowi.
Pada 2016 dan 2018, pemerintah membuka kepemilikan 100% investasi asing di 95 bidang usaha, salah satunya di bidang ritel online.
Baik Choiri maupun Yudhistira menyebut bahwa banjir investasi asing pada unicorn/decacorn toko online bertanggungjawab atas defisit perdagangan, yang pada gilirannya memicu defisit neraca berjalan (CAD), dan secara laten memperlemah nilai rupiah.
Jadi, toko-toko online swasta unicorn itu hampir tidak ada manfaatnya dalam pengembangan UKM lokal. Sebaliknya, dalam praktek justru membahayakan kondisi ekonomi negeri kita, serta menciptakan ketergantunan negeri kita atas barang impor.
Kondisi itu relevan dengan apa yang dikeluhkan oleh Presiden Jokowi sendiri beberapa waktu lalu: "kenapa bahkan cangkul pun harus kita impor dari luar negeri."
Menurut saya, sangat ironis, jika Menteri Teten (tanpa menimbang hal-hal di atas) justru menjalin kerjasama dengan toko online seperti Blibli. Kerjasama itu juga akan lebih menguntungkan Blibli ketimbang UKM yang ingin dibela oleh Pak Menteri Teten.
Dalam beberapa tahun terakhir, raksasa rokok Djarum, Sampoerna dan Gudang Garam bersaing satu sama lain untuk menguasai jaringan ritel hingga pedesaan.
Mereka punya program yang mirip satu sama lain untuk "memodernisasi" kios kelontong pedesaan: Djarum Retail Partnership (DRP yang belakangan disatukan dengan Blibli); Sampoerna Retail Community (SRC); dan Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP).
Kios-kios kelontong pedesaan itu tak hanya menjual rokok, tapi juga produk konsumsi lain. Ini penetrasi yang lebih agresif dari jaringan Indomart dan Alfamart yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.
Kehadiran minimarket (swalayan modern) tak hanya meminggirkan pedagang/pasar tradisional, tapi juga memperbesar ketergantungan desa terhadap produk-produk dari kota. Ini memperlemah sentra-sentra produksi dan ekonomi lokal, yang pada gilirannya memicu ketimpangan dan kemiskinan.
Pengakuan tentang dampak buruk minimarket bahkan datang dari pemerintah sendiri. Pada 2018 lalu, pemerintah berjanji akan mengeluarkan "peraturan presiden tentang pengendalian minimarket". Tapi, alih-alih membatasi, pemerintah justru membiarkan ekspansi jaringan ritel hingga jauh ke pelosok desa oleh raksasa rokok tadi.
Lagi-lagi, makin ironis, jika Menteri Teten Masduki (tanpa menimbang dampak buruk tadi) justru memberi panggung lebih luas bagi Blibli (Djarum) untuk berkiprah.
Pasar (marketplace) hanya satu aspek saja dari ekonomi lebih luas. Tugas Kementerian Koperasi-UKM tak hanya memperluas pasar; tidak hanya mengurus pedagang.
Pelaku UKM itu tak cuma pedagang tapi juga produsen barang-barang dan jasa, bahkan termasuk petani (pelaku usaha tani) di dalamnya. Tak ada gunanya marketplace yang menyingkirkan produsen atau petani lokal. Tak ada gunanya pula marketplace yang memperlemah ekonomi lokal, yang pada gilirannya memperlemah ekonomi nasional kita.
Lebih dari segalanya, ada kata "koperasi" dalam nama Kementerian Pak Teten Masduki itu, yang bukan cuma embel-embel atau hiasan belaka. Koperasi menawarkan sistem produksi-konsumsi serta perniagaan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan karena bertumpu pada kekuatan lokal.
Dari Bung Hatta kita juga belajar bahwa koperasi bukanlah cuma badan usaha (atau tentang pasar belaka). Koperasi juga tentang sistem sosial dan politik demokrasi dari bawah; fondasi penting tak hanya bagi ekonomi nasional, tapi juga bagi demokrasi politik dan cita-cita keadilan sosial Indonesia sesuai Pancasila.
Begitulah, ada banyak kritik lain yang bisa ditambahkan tentang Kementerian ini. Tapi, pada prinsipnya, kita warga negara berhak untuk selalu mempertanyakan kebijakan publik pemerintah. Jangankan menteri, kebijakan presiden pun bisa dipertanyakan.
Akan halnya somasi Muannas Alaidid, saya berharap dia mengurungkan niat mempolisikan saya. Bagaimanapun, itu terserah dia. Jika berlanjut, saya siap menyambut Pak Polisi yang datang mengetuk rumah saya.[]
Share: