
Ilustrasi
Ilustrasi
Jakarta, Cyberthreat.id - Indonesia sedang bersiap menghadapi era New Normal. Saat ini, banyak aspek kehidupan manusia sudah dipaksa oleh teknologi. Mau tidak mau, mengikuti bisnis proses yang melekat kepada teknologi tersebut. Jika teknologi sudah tersedia, bagaimana dengan Sumber Daya Manusia-nya.
Kepala Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komputer Indonesia (Aptikom) Prof. Zainal A. Hasibuan mengatakan Indonesia kelabakan dengan perubahan teknologi disertai berbagai kemudahan dalam menjalani kehidupan.
Ada kekhawatiran, atau bahkan fakta, Indonesia tidak siap dan dikagetkan dengan perubahan yang begitu masif. Menurut Zainal, ketidaksiapan dalam berpacu, bersaing, pasti akan mengakibatkan munculnya orang-orang yang tertinggal. Ada yang cepat, ada yang sigap, sehingga tidak semua bisa berdaptasi. Artinya, pasti ada yang tidak siap dengan perubahan.
"Itulah yang terjadi sekarang ini. Kita sedang di-filter, ada yang cepat beradaptasi, ada yang sangat lambat. Itu saya alami betul di sektor pendidikan," kata Zainal dalam webinar yang dilaksanakan Relawan TIK, Kamis (21 Mei 2020).
"Beragam komentar orang-orang, ada yang bilang teknologi tidak bisa menunjukkan rasa cinta dan segala macam. Wah, di tempat saya ini blankspot, belum ada apa-apa. Wah, teknologi saya ini belum mendukung. Intinya, mereka tidak siap terhadap perubahan yang dipaksakan oleh alam ini."
Pandemi Covid-19 menjadikan orang terpaksa memanfaatkan teknologi. Kominfo, kata Zainal, sudah berupaya mendidik masyarakat Indonesia agar menjadi master dari teknologi, bukan menjadi budak dari teknologi. Sayangnya, pada saat itu tidak ada himbauan yang sifatnya memaksa sehingga masyarakat merespon dengan lambat.
Zainal mengingatkan, dalam beradaptasi Indonesia tidak perlu pintar-pintar, tidak perlu kuat-kuat karena sebenarnya banyak teknologi sudah tersedia di Indonesia.
"Teknologi sudah ada. Bahkan spektrum teknologi di Indonesia ini kalau mau dipetakan itu dari revolusi 1.0 sampai 4.0 itu ada. Sehingga, dari teknologi dari bisnis proses itu kurang lebih oke, sekarang dari SDM-nya bagaimana?"
Berkolaborasi
Untuk membangun SDM menuju era New Normal perlu dilakukan kerjasama. Alasannya, kata Zainal, untuk mencari orang atau SDM yang bisa atau menguasai semua hal sangat langka.
Ia mencontohkan, dalam satu siklus pekerjaan atau dalam satu siklus lingkungan, terdapat orang-orang yang punya banyak ide, orang yang bisa menuangkan idenya kedalam bisnis model. Kemudian, bisnis model dituangkan lebih rinci lagi ke bisnis proses. Lalu, bisnis proses dirumuskan ke dalam yang supaya bisa di-otomasi.
"Namanya business rule, algoritma, sampai ke coding itu dikerjakan masing-masing orang yang tidak tersambung satu sama lain. Akibatnya, kita tidak mendapatkan benefit yang optimal dari apa yang kita kerjakan," kata dia.
Dalam banyak kasus, seperti halnya programmer, banyak tergantung kepada siapa yang order, sementara yang punya ide tidak pernah mengimplementasikan. Kemudian, yang mengimplementasikan juga tidak tahu arahnya ke mana. Itu sebabnya Zainal mengatakan ini adalah pekerjaan besar dalam konteks perubahan atau era New Normal.
"Teknologi sudah canggih, ada cloud, ada broadband, ada IoT, ada AI, ada 3D printing dan segala macam."
Dua Sisi Mata Uang
Dalam memanfaatkan teknologi manusia harus melihat dua mata sisi. Satu sisi bisa memberikan benefit, tetapi juga bisa menjadi senjata pembunuh bagi manusia. Zainal memberikan contoh teknologi 3D printing yang menurut dia dapat merusak bisnis UMKM di Indonesia.
"Bayangkan yang biasanya kita buat patung pakai tangan, itu dengan 3D printing sudah tidak perlu lagi kerajinan tangan, tinggal cetak-cetak saja. Nah, makanya saya menentang keras 3D printing masuk ke wilayah UMKM, tapi kalau mau masuk ke otomotif silahkan, kalau mau masuk ke AR silahkan,” ujarnya.
SDM yang dibangun Indonesia harus dengan kualitas yang dapat menentukan arah dan tujuan bangsa.
"Bagi yang punya otoritas, yang berkuasa, kita tidak bisa berhenti sampai visi saja, kita tidak bisa sampai kepada rumusan, kita harus bisa sampai aksi. Jangan sampai kita berhenti di visi, aksinya enggak ada. Sebaliknya, banyak yang aksi, tapi tidak tahu muaranya ke mana. Ini bahaya juga."[]
Redaktur: Arif Rahman
Share: