
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Ilustrasi | Foto: freepik.com
Jakarta, Cyberthreat.id – Selepas Shalat Ied pada Minggu (24 Mei 2020) pagi, banyak keluarga yang memanfaatkan panggilan video (video call) untuk saling bersilaturahmi secara virtual.
Momentum Idul Fitri yang biasa ditandai dengan gelombang pemudik di kampung-kampung, tahun ini tidak ada. Pemerintah melarang orang-orang pulang ke udik demi mencegah penyebaran virus corona (Covid-19.
Sungkeman dengan orangtua dan silaturahmi bersama saudara-saudara lain, terpaksa kali ini dilakukan secara virtual.
Sosiolog Bayu A Yulianto mengatakan, silahturahmi virtual tidak akan mungkin bisa menggantikan makna silahturahmi tatap muka. Relasi emosional yang muncul dari telekonferensi video jauh berbeda dengan bertemu fisik.
“Meskipun bisa difasilitasi oleh teknologi komunikasi digital, tetapi esensi dasar dari interaksi antarmanusia yang melibatkan emosi dan perasaan belum bisa difasilitasi oleh teknologi tersebut,” kata dia saat dihubugni Cyberthreat.id, Sabtu (23 Mei 2020).
Silahturahmi virtual juga tidak bisa menggantikan banyak hal yang tidak bisa dilakukan hanya mengandalkan teknologi.
Ia memberikan contoh relasi-relasi yang sifatnya lebih kultural, seperti mengunjungi makam orangtua (nyekar), berkumpul keluarga besar, atau saling berkunjung ke tetangga di kampung.
“Kota telah begitu banyak menyerap energi para pekerja, dan hanya melalui silaturahmi tatap muka, energi itu bisa semacam disegarkan kembali,” ujar Bayu.
“Kota tempat mereka tinggal dan bekerja juga selama ini telah ‘mencerabut’ mereka dari akar kulturalnya serta nilai-nilai sosial yang sebelumnya menjadi pegangan hidup mereka,” kata dia.
Oleh karenanya, fungsi silaturahmi fisik selama ini juga bagian dari menyegarkan kembali relasi-relasi sosio-kultural tersebut.
Tanpa ada penyegaran atas relasi sosio-kultural itu mereka semakin terserap ke dalam modernisasi dan industrialisasi. “Mereka akan semakin terasing dari identitas kulturalnya,” kata dia.
Lebih-lebih, kata Bayu, tidak semua orang bisa melakukan silaturahmi online. Orang-orang yang hidup di daerah dengan minim infrastruktur komunikasi, tentunya kerepotan untuk saling terkoneksi.
“Komunikasi dengan menggunakan teknologi digital ini masih dibatasi oleh banyak faktor, seperti kekuatan sinyal, kebutuhan paket data internet, kebutuhan gadget yang lebih baik, serta keterampilan digital dari pemilik gadget,” ujar Bayu.
Gelombang perubahan
Apa yang disampaikan Bayu sedikit banyak memang benar adanya. Masih banyak orang Indonesia, selain terkendala infrastruktur juga belum memiliki kemampuan mengoperasikan perangkat.
Belum semuanya siap menghadapi perubahan ke dunia teknologi. Karena faktor pandemi virus corona (Covid-19) saja, orang-orang kemudian dipaksa menggunakan internet.
Terpisah, Kepala Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komputer Indonesia (APTIKOM), Prof. Zainal A. Hasibuan, mengatakan, kultur masyarakat Indonesia umumnya kelabakan dengan perubahan seperti itu. Ibarat dipacu lari, orang berlari pasti ada yang ketinggalan, ada pula yang lebih cepat.
Artinya, tidak bisa semua bisa berdaptasi dan pasti masih ada yang tidak siap terhadap perubahan, ujar Zainal.
“Itulah yang terjadi sekarang ini, saya alami betul di sektor pendidikan ya,” kata dia dalam webinar yang dilaksanakan Relawan TIK, Kamis (21 Mei 2020).
Beragam orang berkomentar tentang kondisi mereka menghadapi perubahan teknologi. Menghadapi era “new normal”.
“Ada yang bilang teknologi itu tidak bisa menunjukkan rasa cinta. Lalu, masih ada yang blankspot, belum ada internet, atau teknologi yang dimiliki belum mendukung perubahan. Intinya, mereka tidak siap terhadap perubahan yang dipaksakan ini,” kata Zainal
Oleh karena itu, masyarakat di tengah adanya perubahan ini, harus bisa beradaptasi. Yang perlu dilakukan oleh masyarakat Indonesia ialah saling bekerja sama.
Hal ini dikatakan Zainal lantaran untuk mencari SDM yang bisa atau menguasai semua, hal itu sangat langka. Kesenjangan itu, kata dia, bisa ditutupi dengan membentuk relawan TIK untuk mendampingi masyarakat. Mereka bisa memberikan pendampingan di kalangan petani, pelaku UMKM, dan lain-lain.[]
Redaktur: Andi Nugroho
Share: