
Donald Trump
Donald Trump
Cyberthreat.id - Pakar cybersecurity dari Recoded Future, Allan Liska, menilai ancaman kelompok hacker yang akan membocorkan data Donald Trump sebagai langkah yang terlalu jauh. Kelompok hacker itu diketahui meminta tebusan $ 42 juta. Menurut Liska, hubungan Rusia dan Amerika Serikat (AS) atau ramahnya koneksi Trump dan Presiden Vladimir Putin menjadikan hal itu sangat sulit.
"Jika mereka benar-benar merilis file Trump, konsekuensinya adalah mereka akan diburu Cyber Command AS dan dan FSB Rusia," kata Allan Liska dilansir NBC News, Sabtu (16 Mei 2020).
Menurut Liska, selama ini memang banyak hacker Rusia yang sengaja menargetkan AS. Aparat penegak hukum AS juga kerap mengalami kesulitan karena dalam banyak kasus, kelompok-kelompok ini beroperasi di luar Rusia yang tidak mengekstradisi warganya.
Brett Callow, peneliti cybersecurity dari EmsiSoft, mengatakan tidak percaya dengan gertakan dari kelompok hacker tersebut. Menurut dia, para hacker itu membutuhkan situasi dimana korban percaya bahwa ancaman benar-benar nyata dan akan terus berlanjut.
"Saya pikir ini Bulls***," ujar Callow yang juga mempelajari perilaku geng ransomware.
Sebelumnya, kelompok hacker ini telah merilis sebagian besar file curian dari firma hukum Grubman Shire Meiselas and Sacks yang berisi data milik selebriti Hollywood. Mereka menggunakan REvil ransomware untuk masuk ke jaringan firma hukum tersebut lalu mengenkripsi data dan file.
Jika tidak membayar tebusan, mereka akan membocorkan file yang tidak terenkripsi file secara online.
"Orang berikutnya yang akan kami publikasikan adalah Donald Trump. Ada pemilihan umum dalam waktu dekat dan kami menemukan satu ton 'cucian kotor' tepat pada waktunya," demikian keterangan kelompok hacker.
"Dan bagi Anda para pemilih, kami akan memberi tahu Anda, setelah publikasi nanti Anda tidak ingin melihatnya sebagai presiden," tegas para hacker yang memberikan batas waktu satu pekan.
Grubman, Shire, Meiselas and Sacks dalam sebuah pernyataan pada Jumat (16 Mei 2020) menyatakan, Trump bukan klien dan belum pernah menjadi klien mereka. Firma hukum itu mengakui tidak kebal dari serangan siber di tengah ancaman terus meningkat.
"Terlepas dari investasi besar kami dalam keamanan teknologi tercanggih, para cyberterrorist asing telah meretas jaringan kami dan menuntut $ 42 juta sebagai tebusan," demikian keterangan firma hukum tersebut.
"Kami bekerja sama dengan penegak hukum federal dan terus bekerja dengan para ahli terkemuka dunia untuk mengatasi situasi ini."
Share: