
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjadi panelis di G20 | Foto: Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat menjadi panelis di G20 | Foto: Kemenkeu
Tokyo, Cyberthreat.id - Kelompok negara G20 berencana menyusun seperangkat aturan untuk memungut pajak dari perusahaan digital terutama yang masuk kategori multinasional.
Kini, dunia mengenal akronim GAFA untuk perusahaan digital raksasa yang beroperasi hingga negara kecil dan berkembang. GAFA merujuk kepada Google, Amazon, Facebook, dan Apple yang selama ini meraup keuntungan lewat aturan pajak yang berbeda di berbagai negara.
Menteri Keuangan Jepang, Taro Aso, mengatakan proposal terkait pungutan pajak terhadap GAFA dan sejenisnya masih agak kabur. Namun, Aso yang bertindak sebagai tuan rumah G20 tahun ini mengatakan proposal itu perlahan akan menemui bentuknya.
"Ini adalah kemajuan baru yang bermanfaat dalam mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi," kata Taro Aso.
Proposal ini semakin cerah kala Inggris dan Prancis memberikan dukungan. GAFA kerap mengatakan kepada dunia bahwa mereka taat pajak, tapi ketika beroperasi di Eropa, GAFA malah membayar sedikit pajak dengan berbagai motif.
Salah satu motifnya adalah meyalurkan penjualan melalui negara yang memiliki aturan pajak ringan seperti Irlandia dan Luksemburg. Praktik ini dinilai sebagai kecurangan oleh berbagai negara yang tidak memiliki perusahaan seperti GAFA.
"Kami percaya semua bisa bekerja sama mengatasi persoalan yang seharusnya sudah diselesaikan beberapa tahun lalu," kata Komisaris Uni Eropa untuk Urusan Ekonomi, Pierre Moscovici.
"Aturan ini bukan untuk GAFA saja, tapi juga untuk perusahaan lain yang harus membayar pajak secara adil di tempat mereka mendapatkan laba."
Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, yang hadir sebagai panelis dalam forum G20 mengatakan tak sulit mengambil pajak dari perusahaan digital. Yang dibutuhkan Indonesia menurut Sri Mulyani adalah komitmen dan sedikit redefinisi aturan.
"Dengan 260 juta populasi penduduk dan 100 jutaan pengguna internet, realisasi penerimaan perpajakan masih belum tercermin dari besaran pengguna internet dan jumlah penduduk tersebut," kata Sri Mulyani di akun Instagram-nya, Sabtu (8/06/2019).
Di era digital, kata Sri, sebuah negara tidak bisa mengambil pajak berdasarkan physical presence atau kehadiran secara fisik dari para pengusaha yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Redefinisi aturan menurut Sri terkait Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment. Dengan kompleksitas struktur ekonomi digital, tantangan lain Indonesia adalah membuat formulasi kebijakan, khususnya perhitungan kuantitatif terkait significant presence.
"Diperlukan sistem perpajakan internasional baru agar mampu menjamin pemajakan yang adil antar negara di era digitalisasi," ujar Sri.
Share: