
Ilustrasi
Ilustrasi
Cyberthreat.id - Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menilai transparansi pengembang (developer) aplikasi sebagai isu utama dalam memberikan fasilitas pelatihan untuk peserta Program Kartu Prakerja. Pemerintah menggaet delapan platform digital untuk melaksanakan program tersebut seperti Unicorn sekelas Tokopedia, Bukalapak, dan Ruang Guru, kemudian platform Mau Belajar Apa, Pijar Mahir, Sekolahmu, Pintaria, dan Kemnaker.go.id.
"Sebab, akan ada lonjakan penggunaan di ke-8 aplikasi pembelajaran tersebut," kata Ardi kepada Cyberthreat.id, Rabu (22 April 2020).
Menurut dia, banyak orang yang akan mem-follow aplikasi tersebut. Mulai dari pekerja itu sendiri hingga penjahat siber yang akan mengikuti tren perkembangan. Dalam hal ini, kata dia, lonjakan penggunaan aplikasi pembelajaran dari program Kartu Prakerja juga harus dipersiapkan.
"Seberapa transparan si pengembang aplikasinya terbuka, agar aplikasi bisa diaudit secara independen melalui program-program, seperti Bug Bounty, Pentest, dan sebagainya. Ini akan jadi taruhan besar bagi pengembangnya," kata dia.
Pemerintah juga terkesan buru-buru dalam mengambil keputusan-keputusan terkait program kartu Prakerja. Menurut Ardi, jika ke-8 aplikasi tersebut diaudit pasti akan ditemukan masalahnya atau bisa saja ditemukan kelemahannya.
"Era komersialisasi digital, dimana segala sesuatunya kejar tayang dan ingin kejar keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Tampaknya etika bisnis pun dikesampingkan. Termasuk, mengelabui dan mengakali banyak pejabat publik di Indonesia yang memang rata-rata tingkat gapteknya (gagap teknologi) masih di level sangat tinggi," tegas Ardi.
Infrastruktur Siap?
Advisor Indonesia Digital Economy Empowerment Community, Mochamad James Falahuddin mengatakan, dalam melihat persoalan teknis Kartu Prakerja dibutuhkan analisis mendalam. Cyberthreat.id mencoba melakukan pengecekan terhadap infrastruktur siber yang digunakan platform digital Kartu Prakerja.
Misalnya perangkat lunak Sistem Manajemen Konten (CMS) yang digunakan oleh Pintaria dan Mau Belajar Apa menggunakan Ubuntu, WordPress, yang merupakan software open source sehingga gratis dan tidak memerlukan biaya yang besar.
"Cuma ya, kalau pakai itu (open source) modalnya gak besar-besar banget," ungkap James saat dihubungi Cyberthreat.id, Rabu (22 April 2020).
Harusnya, kata James, infrastruktur yang disiapkan mestinya "serius". Pasalnya, ada 5,6 juta calon peserta program Kartu Prakerja yang akan mengakses platform-platform tersebut, sementara dana bantuan yang digelontorkan pemerintah Rp 5,6 triliun.
"Nanti data centernya gimana, network-nya, tim support-nya, dan sebagainya harus serius. Misalnya, nanti full ada 5,6 juta member, kan harus diantisipasi itu concurrent user (pengguna bersamaan) yang akses dan lain-lain."
Menurut James, penggunaan open source disini memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan utama dari penggunaan open source sendiri adalah tidak adanya sisi support dari si pengembang open source itu sendiri.
"Karena gak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban jika ada masalah di sisi tools-nya. Ya, namanya juga gratisan. Bukan berarti open source gak bagus, tapi kalau pakai yang gratisan, you're at your own risk," jelas dia.
Model Bisnis
Pakar IT dari Vaksincom Alfons Tanujaya mendukung jika pemerintah menggunakan software open source. Menurut dia, kualitas sebuah produk tidak bisa dilihat berdasarkan open source atau tidak, tetapi harus dirinci lebih mendalam secara mendetail layanannya seperti apa, support-nya seperti apa, fitur-fitur apa saja dan sebagainya.
"Open source itu biaya software tidak menjadi komponen yang besar. Pakai Ubuntu, Wordpress itu malah OS-nya reliable dan mudah dipakai," kata Alfons.
Meski demikian, memang terdapat model bisnis yang kontroversial dalam pelaksanaan proyek Kartu Prakerja. Seperti dugaan seolah-olah membantu peserta program Prakerja, tapi yang mendapatkan uang besar adalah penyedia pelatihannya.
"Secara objektif memang penguasa market adalah Ruang Guru, Bukalapak, dan Tokopedia, tetapi open source itu maknanya tidak selalu gratis. Artinya tidak perlu membayar untuk penggunaan aplikasi dasarnya namun kalau mau membangun aplikasi open source-nya kita mesti bayar."
Alfons mencontohkan saat pengguna OS Linux bisa menggunakannya dengan gratis, sementara Windows pengguna harus membayar.
"Nah, kalau bangun aplikasi di Linux tetap saja mesti bayar juga. Bayar orang, coding dan segala macamnya. Yang gratis itu aplikasi dasar saja."
Hal lain yang juga harus diamati masyarakat dari delapan platform digital itu adalah kualitas layanannya. Mulai dari Reliability, Compatibility, kemudahan pengguna, kecepatannya bagaimana, dan aspek krusial lain yang bermanfaat bagi masyarakat.
"Prakerja ini sebenarnya lahan Milenial untuk menunjukkan kontribusinya. Yang tua dan ketinggalan harus tahu diri. Pejabat yang gaptek atau sudah tua ya tahu diri aja." []
Redaktur: Arif Rahman
Share: