
Ilustrasi Tap In dan Tap Out kartu di Stasiun MRT : Foto: Rahmat Herlambang
Ilustrasi Tap In dan Tap Out kartu di Stasiun MRT : Foto: Rahmat Herlambang
Jakarta, Cyberthreat.id - Daya saing ekonomi Indonesia menanjak 11 peringkat. Lonjakan itu dianggap drastis sekaligus dramatis dari total 63 negara yang diukur oleh para akademisi dari IMD World Competitiveness Center, Swiss.
Soal daya saing Indonesia kini berada di posisi 32, naik dari urutan 43 pada 2018. Empat indikator besar yang diukur yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.
IMD Business School menilai Indonesia unggul dalam hal ekonomi domestik (peringkat 7), kebijakan perpajakan (peringkat 4), pasar tenaga kerja (peringkat 3) serta tingkah laku dan nilai (peringkat 14).
Sebaliknya kritik untuk Indonesia adalah perbaikan pada aspek perdagangan internasional (peringkat 59), kesehatan dan lingkungan (peringkat 58), pendidikan (peringkat 52) dan infrastruktur teknologi (peringkat 49).
Beberapa kriteria yang menunjukkan perbaikan signifikan sehingga berkontribusi pada kenaikan peringkat antara lain aplikasi paten, pemberantasan korupsi, biaya listrik industri hingga aspek keadilan dan hukum.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan setidaknya terdapat empat faktor yang secara garis besar berpengaruh dalam meningkatkan daya saing pendidikan dan infrastruktur teknologi yang faktanya masih rendah.
"Infrastruktur teknologi ini cakupannya sangat luas karena berikutnya ada ekosistem digital, regulasi yang menunjang ekonomi digital hingga insentif yang mengutamakan pemain lokal," kata Bima saat dihubungi Cyberthreat.id, Sabtu (1/06/2019).
Salah satu contoh infrastruktur digital yang menentukan menurut Bima adalah jangkauan internet di Tanah Air. Survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) menyatakan jumlah pengguna internat terus meningkat mencapai 171,17 juta di tahun 2018.
"Tahun berikutnya akan naik lagi (pengguna internet) sehingga pasti akan ada pembangunan BTS baru, fiber optik dan sebagainya," kata dia.
Siapa pun butuh kepastian. Menurut Bima kepastian regulasi lebih penting ketimbang layanan perizinan yang cepat. Kebijakan teknis pemerintah yang kerap berubah-ubah menjadi alasan mengapa sampai saat ini pengusaha nasional hanya wait and see.
Untuk ekonomi digital Bima menyebut sejumlah regulasi yang menunjang seperti UU Perlindungan Data Pribadi, UU Keamanan dan Ketahanan Siber (Kamsiber) hingga UU tentang perpajakan digital.
"Misalnya soal data center kan harus di Indonesia karena perlu diawasi flow datanya. UU Siber termasuk juga dan jangan lupa pajak e-commerce seperti fintech, transportasi online. Yang seperti itu kan pajaknya belum keluar semua."
Dari aspek keamanan seperti cybersecurity untuk infrastruktur digital, Bima menilai tanggung jawab terbesar berada di tangan regulator terutama dengan pengawasan terhadap sistem maupun bisnis digital.
Baca: BSSN Petakan 10 Sektor Rawan Serangan Siber
Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) juga telah memetakan sepuluh sektor Infrastruktur Informasi Kritikal Nasional (IIKN) yang mendapat perhatian khusus terutama berkaitan hajat hidup orang banyak.
"Intinya kita memang sangat membutuhkan kecepatan dan kepastian itu," ujarnya.
Share: