
Ilustrasi | FREEPIK.COM
Ilustrasi | FREEPIK.COM
London, Cyberthreat.id – Serangan siber yang menargetkan peranti Internet of Things (IoT) telah merugikan sektor perekonomian Inggris dengan nilai begitu fantastis. Dalam setahun, nilai kerugiannya diperkirakan mencapai US$ 1,26 miliar atau sekitar Rp 18,3 triliun (dengan nilai tukar rupiah saat ini).
Demikian penelitian yang dilakuan perusahaan perangkat lunak Belanda, Irdeto, seperti dikutip dari ITPro.co.uk, yang diakses pada Jumat (24/5/2019). “Peranti IoT yang tidak aman dan aplikasi pendamping pada dasarnya adalah celah mudah bagi penjahat siber. Mereka kini telah menemukan cara-cara baru dan kreatif (untuk membobol peranti IoT),” kata Wakil Presiden Irdeto, Steeve Huin.\
Berita Terkait:
Pada Maret lalu, laporan Fortinet juga menyoroti risiko peranti IoT menyangkut keamanan dunia bisnis. Dalam risetnya disebutkan, bahwa setengah dari 12 modus kejahatan siber selama kuartal keempat 2018 ternyata terkait dengan perangkat tidak aman.
Pemerintah Inggris saat ini masih menyusun regulasi untuk perangkat IoT. Produsen akan diatur secara ketat, termasuk menggunakan label khusus dan kata sandi unik.
Sebelumnya, Menteri Negara Digital dan Industri Kreatif Inggris, Margot James, mengatakan, perkembangan IoT yang kian pesat harus dibuat lebih aman sebab ancaman peretas (hacker) sangat tinggi. Peretas bisa menyusup ke berbagai perangkat yang terkoneksi internet mulai boneka hingga oven. Selain itu, peretas bisa mencuri data pribadi, memata-matai korban, atau mengendalikan perangkat korban dari jarak jauh.
Berita Terkait:
Dalam rancangan undang-undang (RUU) tersebut, James mengatakan, segala perangkat IoT harus menyertakan kata sandi unik agar tak mudah disusupi peretas.
James menuturkan, RUU tersebut juga memperkenalkan sistem pelabelan yang memberitahukan kepada pelanggan seberapa aman produk-produk IoT tersebut.
Berita Terkait:
"Ini bagian dari upaya Pemerintah Inggris untuk menjadi acuan dunia dalam keamanan siber," ujar James seperti dikutip dari BBC, Rabu (1/5/2019). Nantinya, perusahaan yang tidak mencantumkan label tersebut dilarang menjual produk-produknya. Tahap awal, aturan pelabelan tersebut masih bersifat sukarela.
Share: