IND | ENG
Cara Tajir Menjalani Profesi Hacker

Ilustrasi | Foto: freepik.com

Cara Tajir Menjalani Profesi Hacker
Andi Nugroho Diposting : Senin, 02 Maret 2020 - 11:28 WIB

Cyberthreat.id – Apakah menjadi peretas (hacker) jauh lebih baik kesejahterannya dari seorang dokter atau dosen atau pegawai negeri?

Menyebut kata “hacker”, asosiasi yang paling cepat di otak kita adalah penjahat komputer. Itu pikiran stigma memang. Hanya, di dunia peretas itu juga ada kalangan yang baik, bahkan kalangan yang berpura-pura baik.

Oleh karenanya, muncul sebutan di dunia peretasan, yaitu peretas putih (white hat), peretas hitam (black hat), dan peretas abu-abu (grey hat). (Baca: Apa Beda Hacker White Hat, Black Hat & Grey Hat?)

Secara mendasar, sebetulnya hacker adalah ahli komputer. Ia memahami seluk-beluk tentang bahasa pemrograman dan keamanan komputer.


Berita Terkait


Di era digital saat ini, profesi hacker adalah yang paling dicari. Mereka memiliki keahlian yang dibutuhkan para pengembang platform, terutama untuk bagian keamanan (security).

Di sinilah, peluang besar untuk menjadi kaya raya bagi seorang hacker.

Jalan menuju ke sana, salah satunya, program bug bounty alias sayembara mencari celah keamanan (bug) atau kerentanan (vulnerability) berhadiah.

Bisnis bug bounty terus tumbuh dan menggandeng para hacker muda. Program ini ada yang bersifat internal atau undangan khusus, ada pula terbuka. HackerOne adalah salah satu platform yang menggelar sejumlah bug bounty yang bekerja sama dengan berbagai perusahaan.

HackerOne mengumpulkan dan menghubungkan para peretas putih dengan perusahaan. Saat ini HackerOne memiliki sedikitnya 600.000 peretas putih. Jumlah tersebut berkembang dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Tahukah berapa nilai uang yang telah mereka dapatkan? US$ 40 juta hanya dalam setahun terakhir, demikian laporan tahunan yang baru-baru ini diterbikan oleh HackerOne, dikutip dari ZDNet.

Uang yang diperoleh pada 2019 tersebut hampir sama dengan seluruh jumlah yang diberikan pada tahun-tahun sebelumnya jika digabungkan.

Klien HackerOne bukan main-main, mayoritas perusahaan berprofil tinggi, seperti General Motors, Google, Goldman Sachs, Toyota, dan IBM. Bahkan, sejumlah lembaga pemerintahan juga menggandeng kerja sama dengan mereka.

Sejak diluncurkan pada 2012, perusahaan telah membayar peretas etis yang ikut di dalamnya sebesar US$ 82 juta sebagai imbalan atas keberhasilan deteksi mereka terhadap lebih dari 150.000 kerentanan.

Hadiah uang tunai perseorangan juga semakin besar. Pada 2018, HackerOne memberikan hadiah kepada seorang peretas sebesar US$ 1 juta. Selanjutnya, pada 2019, ada tujuh peretas berbeda dengan hadiah yang sama.

Pada tahun lalu, jumlah peretas yang memperoleh US$ 100.000 sebanyak 146 orang, naik tiga kali lipat dari tahun sebelumnya..

Dengan melihat hadiah yang didapat tersebut, “Ini menjadi potensi kekuatan pendapatan berkarier di dunia peretasan, yang jauh di atas rata-rata gaji global pekerja TI saat ini sebesar US$ 89.732," tulis laporan itu.


Berita Terkait:


Siapa sebenarnya yang mengeluarkan uang?

Meski perusahaan swasta terlibat, laporan itu menyebutkan, pemerintah paling tertarik untuk menggunakan keterampilan peretas topi putih.

"Pemerintah dan lembaga pemerintah jelas progresif dalam penggunaan dan promosi pendekatan keamanan cybersecurity yang telah terbukti ini," kata HackerOne yang mencatat pertumbuhan permintaan tahunan sebesar 214 persen dari lembaga publik.

Departemen Pertahanan AS, misalnya, menjalankan program kemitraan dengan HackerOne dalam beberapa program, antara lain "Hack the Pentagon", "Hack the Army", dan "Hack the Air Force".

Komisi Uni Eropa juga bekerja sama dengan platform peretasan etis dan telah meluncurkan berbagai program bug bounty sebagai bagian dari proyek Pengauditan Perangkat Lunak Bebas dan Sumber Terbuka (FOSSA).

Menurut HackerOne, meningkatnya minat pada peretas putih lantaran industri menghadapi kekurangan keterampilan keamanan yang signifikan. “Tingkat pengangguran untuk personel cybersecurity yang terlatih adalah nol persen. Ini menunjukkan, permintaan untuk profesi ini tinggi, tapi tak diimbangi dengan pasokan yang mencukupi,” tutur HackerOne.

Riset baru-baru ini juga menunjukkan, ada hampir tiga juta orang yang bekerja di bidang cybersecurity di seluruh dunia. Setidaknya, ke depan dibutuhkan empat juta orang lagi untuk mengisi pekerjaan keamanan.

Hanya, persoalan mendasar berada tidak ada level dari para peretas. Apalagi dalam survei HackerOne, sekitar 84 peretas putih mengatakan, mereka mempelajari keahlian peretasan secara autodidak melalui sumber daya online.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal di atas: apakah profesi hacker jauh lebih baik kesejahterannya dari dokter, dosen, atau pegawai negeri?[]

#hackerone   #hacker   #sayembarabug   #bugbounty

Share:




BACA JUGA
Microsoft Ungkap Aktivitas Peretas Rusia Midnight Blizzard
Penjahat Siber Persenjatai Alat SSH-Snake Sumber Terbuka untuk Serangan Jaringan
Peretas China Beroperasi Tanpa Terdeteksi di Infrastruktur Kritis AS selama Setengah Dekade
Google Cloud Mengatasi Kelemahan Eskalasi Hak Istimewa yang Berdampak pada Layanan Kubernetes
Serangan siber di Rumah Sakit Ganggu Pencatatan Rekam Medis dan Layanan UGD