IND | ENG
Penipuan di Platformnya, Bagaimana Tanggung Jawab Bukalapak?

Ilustrasi penipuan di Bukalapak

Penipuan di Platformnya, Bagaimana Tanggung Jawab Bukalapak?
Yuswardi A. Suud, Tenri Gobel Diposting : Kamis, 27 Februari 2020 - 09:58 WIB

Cyberthreat.id - Penipuan masih marak terjadi di platform e-commerce dalam berbagai modus. Seperti yang dialami Nela asal Sulawesi Tengah dan Evi Sulistiyani dari Banyumas, Jawa Tengah. Keduanya dirugikan hingga puluhan juta rupiah dengan modus yang sama: ditipu oleh pelaku yang terdaftar sebagai pedagang di Bukalapak.  

Caranya, setelah mereka mengorder barang, pedagang atau oleh Bukalapak disebut pelapak, meminta komunikasi dilanjutkan di luar fitur chat Bukalapak semisal WhatsApp. Lalu, pedagang mengirimkan link jebakan phishing yang membawa pembeli ke situs palsu yang mirip Bukalapak dengan alih untuk mengecek asuransi pengiriman barang.

Begitu di klik, link itu membawa pembeli ke situs palsu yang didesain mirip Bukalapak. Mengira itu adalah situs Bukalapak asli, si pembeli pun melakukan login seperti biasa saat masuk ke akun Bukalapak miliknya. Tanpa disadari, data yang baru saja dimasukkan ke situs palsu itu, terekam di sistem pelaku dan digunakan untuk mengambil alih akun Bukalapak asli milik calon pembeli. Walhasil, saldo yang disimpan di BukaDompet dalam platform Bukalapak, digunakan oleh si pembajak untuk membeli barang lain atau dipindahkan ke dompet digital lain (e-wallet) semacam Dana.

Kasus semacam ini terus berulang. Dan, Bukalapak yang memfasilitasi transaksi antara pembeli dan pedagang seolah tak punya pilihan lain selain mengimbau pengguna untuk tidak memberikan password atau informasi login kepada pihak lain. Belum terdengar adanya upaya dari perusahaan untuk meninjau ulang mekanisme pengamanan transaksi yang terjadi di platform mereka.

Sebagai contoh, Gojek baru-baru ini menambahkan fitur yang dapat menyamarkan nomor telepon antara pengemudi dan penumpang. Dengan begitu, komunikasi kedua pihak hanya bisa terjadi di platform Gojek. Mereka tidak bisa berkomunikasi via WhatsApp lantaran nomor telepon keduanya tidak muncul di platform. Pembatasan komunikasi ini dilakukan Gojek setelah sebelumnya komunikasi di luar platform antara pengemudi dan penumpang dalam sejumlah kasus berujung ke bentuk pelecehan, mulai dari ucapan kasar hingga pelecehan seksual. (Selengkapnya baca: Lindungi Privasi Pengguna, Gojek Samarkan Nomor Telepon).

Bukalapak sendiri dalam Aturan Pengguna melarang pedagang menghubungi pembeli melalui media lain selain daripada fitur “Chat” / “Kirim Pesan” yang disediakan oleh Bukalapak. Namun, hanya sebatas itu. Padahal, dengan kecanggihan teknologi sekarang, Bukalapak seharusnya bisa mendeteksi dan memblokir pedagang yang membandel saat meminta komunikasi dengan pembeli dilanjutnya di luar platformnya. Bukan baru diblokir saat pembeli sudah dirugikan. Sebab, komunikasi awal terjadinya di platform Bukalapak.

Pada bagian lain, Bukalapak menyebutkan,"pembeli memahami dan menyetujui bahwa segala transaksi yang dilakukan di luar transaksi resmi Bukalapak dan/atau tanpa sepengetahuan Bukalapak (melalui jaringan pribadi, pengiriman pesan, pembelian di luar Bukalapak, dan/atau pembelian di luar tagihan yang ditagihkan Bukalapak) merupakan tanggung jawab pribadi Pembeli, dan bukan tanggung jawab dari pihak Bukalapak."

Lantas, tidak bisakah Bukalapak dianggap lalai dan diminta pertanggungjawabannya?

Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sularsi mengatakan, dalam kasus yang dialami Nela dan Evi, permasalahan itu seharusnya juga menjadi tanggung jawab Bukalapak.

"Terkait permasalahan itu, seharusnya market place ikut bertanggung jawab atas merchannya juga. Tapi tergugat pertamanya bisa merchant karena transaksi terjadi di platform mereka," kata Sularsi saat dihubungi Cyberthreat.id, Rabu (25 Februari 2020).

Menurutnya, tanggung jawab itu berada juga di pihak platformnya karena kejadian itu juga berhubungan dengan kebocoran data yang tanpa disengaja oleh penggunanya.

"Karena tanpa disadari konsumen yang memberikan informasi terkait datanya sendiri ke pelaku, itu masuk ranah pidana. Gugatan perdata bisa dilakukan ke pelaku jika telah ketangkap," kata Sularsi.

YKLI sendiri telah menerima banyak pengaduan dari masyarakat terkait e-commerce. Pengaduan terbanyak terkait modus penipuan yaitu sebesar 12,5 persen.

"Kasus-kasus penipuan harus menjadi perhatian bersama. Konsumen di satu sisi, pengelola platform e-commerce, juga pemerintah," kata Sularsi.

Cyberthreat.id belum mendapatkan konfirmasi dari Bukalapak. Permintaan tanggapan yang dikirim ke Head of Corporate Communications Bukalapak, Intan Wibisono, belum direspons.[]

Berita terkait:

#bukalapak   #phishing   #spam   #penipuan   #

Share:




BACA JUGA
Demokratisasi AI dan Privasi
Seni Menjaga Identitas Non-Manusia
Luncurkan Markas Aceh, Wamen Nezar Dorong Lahirnya Start Up Digital Baru
Awas, Serangan Phishing Baru Kirimkan Keylogger yang Disamarkan sebagai Bank Payment Notice
Wujudkan Visi Indonesia Digital 2045, Pemerintah Dorong Riset Ekonomi Digital